Kamis, 13 Desember 2018

Usai Pergelaran Hari Puisi Indonesia, 30 Agustus 2017, di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara


Latihan Bersama (GENERASI, LKK UNIMED, TECHNO'S, EJAWANTAH, BAHTERA), Lapangan Merdeka Medan, Sabtu 1 Desember 2018






Musikalisasi Puisi pada Perayaan HPI di TIM, Jakarta, 2015


Pementasan "SANG MANDOR", 2017, TBSU



Naskah Drama : ABU

ABU KARYA : B.SOELARTO PARA PELAKU : TUAN X, USIA 48 TAHUN NYONYA X, WANITA MANIS USIA 25 TAHUN RUH ROMUSA, LELAKI USIA 30 TAHUN DOKTER, LELAKI USIA 36 TAHUN PELAYAN, WANITA USIA 27 TAHUN Romusa-romusa Yang tanpa kubur, tanpa nama Bagi deritamu, bagi korbananmu: Salam kasih sungkawa Dan kutuk menghantu Bagi yang tega korup Atas nama arwahmu, keturunanmu Atas abu darah siksamu AWAL MALAM. DALAM SEBUAH RUANG KAMAR KERJA, LENGKAP DENGAN PERABOTANNYA YANG MEWAH, SERTA SEBUAH TELPON DIATAS MEJA KERJA SEBELAH SUDUT. DARI PINTU KAMAR TIDUR TUAN X KELUAR SAMBIL MELEPAS DASINYA. PELAYAN DARI PINTU KAMAR TAMU, PADA TANGAN KANANNYA TERGENGGAM SEBUAH BUNGKUSAN KECIL. TUAN X : Mana Nyonya? PELAYAN : Keluar kursus, Tuan. TUAN X : Oo ya, aku lupa-lupa saja kalau dia lagi asik dengan kursus kecantikannya. Naik skuter apa sedan biru? PELAYAN : Sedan biru tuan. TUAN X : Apa itu yang kau pegang? PELAYAN : Ini tadi dari nyonya. Pesan nyonya supaya disampaikan kepada tuan bila tuan sudah pulang lebih dulu. Nyonya bilang bungkusan ini diterima dari seseorang yang belum dikenalnya untuk disampaikan kepada tuan. TUAN X : Ada suratnya? PELAYAN : Cuma bungkusan ini saja. PELAYAN MENYERAHKAN BUNGKUSAN, TERUS PERGI KEARAH PINTU KAMAR TAMU. TUAN X, MEMBUKA BUNGKUSAN. SEBUAH KOTAK KECIL, TERUS DIBUKANYA. TUAN X NAMPAK KEHERANAN MENGAMATI ISINYA. TUAN X : Apa ini, abu melulu. Hah, kurang ajar siapa yang main-main ini. TUAN X MELEMPAR ISI KOTAK, HINGGA ABU BETERBANGAN DAN SEBAGIAN MENGENAI MUKA. DENGAN GEMAS KOTAK DILEMPAR KELANTAI SAMBIL MEROGOH KANTONG CELANA, MENGELUARKAN SAPUTANGAN DISAPUKAN KEWAJAH. PADA SAAT ITU JUGA LAMPU LISTRIK DALAM RUANGAN ITU SEPERTI KENA GANGGUAN. PADAM SESAAT, NYALA LAGI. BERBARENG DENGAN MENYALANYA, RUH SUDAH HADIR. TEGAK BEBERAPA LANGKAH DIHADAPAN TUAN X. RUH BERTUBUH KURUS, KOTOR. PAKAI KAOS DALAM LUSUH KOTOR YANG MASIH DIBEKASI DARAH KERING. BERCELANA PENDEK KUMAL BERTAMBAL. KAKI TELANJANG, DIBEKASI KUDIS DAN BOROK. PADA WAJAHNYA YANG SANGAT PUCAT SERTA BAGIAN LEHERNYA, MASIH NAMPAK TERLEKAT DARAH KERING. TUAN X TERSENTAK KAGET MELIHAT KEHADIRAN RUH, MULUTNYA GEMETAR SAMBIL MELANGKAH MUNDUR. TUAN X HENDAK TERIAK KETAKUTAN, TAPI SUARANYA TERTAHAN DITENGGOROKAN. RUH MENATAP TENANG SAMBIL MERINGIS. RUH : Menyesal sekali kehadiranku yang tak terduga sangat mengganggu, mengagetkan tuan. TUAN X : Han...tu..... RUH : Aku ini ruh. Ruh insan malang. Tepatnya, ruh insan yang pernah tuan melangkah. TUAN X : Tidak! Aku belum pernah merasa membunuh orang. RUH : Secara langsung, memang belum. Tapi akibat tindakmu disuatu waktu dalam masa lampau, beratus manusia tanpa dosa harus mati kelaparan. Atau mati dimakan kuman-kuman penyakit. Atau mati diujung pancung pedang, bayonet dan tembusan pelor, dinamit. Dan akulah ruh dari sekian arwah insan malang itu. TUAN X : Bohong, bohong....... RUH MERINGIS RUH : Ruh tidak bisa dusta. Untuk mengingatkan tuan, lihatlah gambar wujud hayatku ini. Ingat tuan? Semasa kekuasaan tentara fasis merajalela menindas bangsa tuan, dengan mangaku sebagai “saudara tua”. Dan sebagian besar bangsa tuan yang sudah kelaparan masih dipaksa untuk menjadi “pekerja sukarela”, dalam jumlah beribu. Dan tuan berhasil mempersembahkan beratus orang, termasuk aku, untuk kepentingan sang saudara tua sebagai “romusa”. TUAN X : Romusa !?! RUH : Romusa, pahlawan tanah air, prajurit tanpa senjata. Berjuang sebagai satria bersama saudara tua. Pekerja sukarela yang gagah perwira. Rela korbankan jiwa raga demi nusa bangsa. Demi kebebasan bangsa-bangsa asia dari cengkraman imperialis. Demi kemakmuran Asia Timur Raya! Ingat? Betapa tuan menggelorakan kalimat-kalimat nan indah merdu itu, hingga kami terbius dan serentak teriak setuju! RUH TERTAWA KECIL, MAJU SELANGKAH HINGGA TUAN X DENGAN GEMETAR KETAKUTAN MELANGKAH MUNDUR, DAN SAPUTANGAN DALAM GENGGAMANNYA JATUH TERLEPAS. BIBIRNYA BERGERAK GEMETAR, HENDAK BICARA TAPI DITIMPA SUARA RUH. RUH : Lalu kami baru sadar tertipu propaganda palsu, setelah kami jadi kerangka hidup seperti gambaran wujud hayatku. Kami diperlakukan lebih nista tertimbang keledai tua. Tapi terlambat, mulut kami sudah dibungkam derita yang tak mungkin dilukiskan dengan kata. Dalam cengkraman tangan besi tentara fasis yang mengaku saudara tua. Dan kami mati nista, tanpa kubur, tanpa nisan, tanpa nama. TUAN X : Tidak! Itu bukan tanggung jawabku. RUH MERINGIS RUH : Ingat? Berapa banyak keluarga kami yang tumpas tanpa katurunan, tanpa bekas. TUAN X : Itu bukan tanggung jawabku. RUH : Ingat? Betapa kau selalu beritakan pada biniku yang manis, bahwa aku telah “gugur pecah sebagai ratna” dinegeri rantau. Lalu kau ambil biniku yang manis untuk pelepas nafsu. Lalu dengan dalih palsu kau lempar dia kepasar “gula-gula” serdadu-serdadu fasis. Untuk kemudian musti mati dipuncak segala kenistaan, akibat penyakit kotor. Apakah itu semua juga bukan tanggung jawabmu? TUAN X : Itu salah dia sendiri....... RUH TERTAWA PALSU. RUH : Sudah tersurat, bahkan dialam baka, mereka yang celaka akan masih mencoba lemparkan tanggung jawab diri pribadi pada orang lain. Tapi tuan, jangan takut. Aku bukan hendak menuntut tanggung jawab. Aku sama sekali tidak behak untuk itu. Kehadiranku, Cuma untuk mengingatkan ingatanmu. RUH MERINGIS MAJU SELANGKAH LAGI, HINGGA TUAN X YANG MELANGKAH MUNDUR MEMBENTUR MEJA KERJA. TUAN X TAMBAH KETAKUTAN, SUARANYA GAGAP, TERIAK. TAUN X : Jangan....jangan cekik aku! RUH : Jangan takut, jangankan mencekik, menjamah jasad tuan pun aku tak kuasa melakukan. MENDENGARKAN TERIAKAN, PELAYAN BURU-BURU MASUK KERUANG KAMAR KERJA. PELAYAN KAGET KEHERANAN MELIHAT SIKAP TUAN X. PELAYAN : Ada apa, tuan. TUAN X : Tolong.....tolong.....ada hantu! PELAYAN TERSENTAK, IKUT KETAKUTAN PELAYAN : Hantu!?! Ma...mana...mana hantunya.... TUAN X : Dimukaku, tolol! Tolong, usir dia! Setan ini mau bunuh aku. PELAYAN : Setan!?! Tuan...tuan keranjingan setan!?! PELAYAN DENGAN KETAKUTAN LARI KELUAR. RUH YANG MENYAKSIKAN ADEGAN ITU HANYA MERINGIS LEBAR. DAN BEGITU PELAYAN PERGI, BEGITU RUH BICARA. RUH : Nah sementara dia minta pertolongan, kita bisa teruskan pembicaraan ini. TUAN X : Cukup sudah, sekarang enyah kau! RUH : Sayang sekali, aku masih enggan pergi. Sebab masih ada hal yang musti kusampaikan. Hal tuan sekarang bisa hidup dalam nikmat kemewahan gemilang. TUAN X : Itu bukan urusanmu! RUH : Sayang sekali bahwa aku justru merasa ikut berkepentingan. TUAN X : Semua ini kucapai bekat usahaku sendiri. RUH : Tapi ada segi yang menyangkut kami arwah romusa yang dulu tuan kerahkan. Sebab bukankah modal berjuta untuk usaha niaga tuan ini, tuan peroleh dengan mempergunakan atas nama romusa korban perang dan keluarganya, bukankah duit ganti rugi yang sangat besar ini tuan peroleh justru karena tuan mengaku mewakili arwah kami dan keluarga kami? TUAN X : Kalau kau hendak menggugat, gugatlah pihak yang berwenang. RUH : Aku bukan hendak menggugat. Aku Cuma mau mengingatkan ingatan tuan. TUAN X MENDADAK MEMPEROLEH KEKUATAN MENGUASAI DIRI, DAN MENCOBA KETAWA. TUAN X : Oho mengingatkan? Baik-baik, kalau begitu ingatkanlah pemerintah. RUH : Kami tidak lagi berurusan dengan pemerintah dan organisasi apa saja yang ada dialam fana. Itu urusan kalian penghuni dunia. TUAN X : Jadi kenapa kau hendak juga berurusan dengan aku, hah? RUH : Oo itu perkara lain. Sebab dengan tuan, urusannya bersifat pribadi. TUAN X : Urusan pribadi katamu? Hoo tidak, aku tidak punya urusan pribadi dengan hantu. RUH : Sulitnya, justru aku merasa punya urusan pribadi dengan tuan. Kalau tidak, buat apalah kehadiranku ini. TUAN X : Dengar, kau memamerkan dirimu disini tanpa kuminta, tanpa kuundang. Jadi persetan dengan urusanmu. Sekarang, enyah kau! RUH : Bagaimanapun juga takkan dapat tuan ingkari bahwa khusus antara aku dan tuan masih ada urusan. TUAN X : Kalaupun ada, baik. Itu urusan kelak kita rampungkan dialam baka. RUH : Kehadiranku bukan untuk merampungkan urusan itu. Soal penyelesaian urusan itu, diluar kemampuanku. TUAN X TAMPAK MAKIN MENJADI BERANI, SAMBIL MENGACUNGKAN TELUNJUK TANGAN KANANNYA KEARAH RUH, IA BERSERU. TUAN X : Kau mau peras aku ya! RUH TERTAWA KECIL PARAU. TUAN X : He, apa yang kau rasakan lucu, hah. RUH : Tuan lupa bahwa ruh menganggap seluruh harta dunia fana samasekali tak ada nilai dan manfaatnya. TUAN X : Lalu kau mau apa!?! RUH : Duduklah tuan. TUAN DENGAN KESAL MENURUTI DUDUK. RUH : Ingat? Tatkala tuan hendak memperoleh duwit ganti rugi yang berjuta jumlahnya, tuan nyatakan janji bahwa kesemuanya adalah untuk kepentingan “kesejahteraan keluarga romusa”. Untuk memberikan tunjangan sosial pada sisa keluarga kami yang masih ada. Memberi beasiswa pada anak keturunan kami yang masih tersisa. Dan berbagai dana sosial lainnya. Mengumpulkan tulang belulang kami yang tersebar ditanah air dan dirantau. Untuk lalu dikubur dengan upacara agama, dengan nisan dan tugu kenangan segala. Sekarang, sudahkah semua itu tuan penuhi? TUAN X : Itu.....itu.....akan...ya, akan kupenuhi pada saatnya. Ya, itu aku ingat, dan akan kupenuhi...... RUH : Dengan janji. TUAN X : Tidak! Akan kupenuhi janji itu. Akan. RUH : Akan? Bila? TUAN X : Bila saatnya tiba. RUH TERTAWA KECIL PARAU. RUH : Jadi kenapa sekarang seluruh kekayaan itu sudah tuan nyatakan atas nama pribadi. TUAN X : Oo, itu Cuma soal administrasi. Ya, untuk sementara saja kupinjam. RUH : Pinjam? Ya, ya, semua harta yang ada didunia fana bersifat sementara. Semua adalah pinjaman. Soalnya bukan itu. Soalnya aku hendak mengingatkan bahwa tuan telah culas dan dusta. Tuan telah catut nama bahkan mayat sijelata, untuk memperoleh harta berjuta guna tuan miliki dan nikmati sendiri. Sementara tuan masih tega berlagak sebagai pembela sijelata yang malang. Tuan, masih banyak manusia senilai tuan yang sempat nikmati harta haram secara terhormat sampai saat mati. Tapi sebagai yang tersurat, ingat! Semua harta haram itu akan bicara sendiri dan tidaklah mungkin bagi tuan untuk mengelak diri. TUAN X : Harta haram?!? Jika benar begitu, aku sudah lama gulung tikar. Kenyataannya sebaliknya. Hartaku bertambah. Namaku tambah dihormati. Senua orang tau aku hartawan yang dermawan. RUH : Tuan pikir seperti bocah saja. Tidak kurang insan yang menyimpan kejahatan malah beroleh kejayaan dan kehormatan dialam fana. TUAN X : Kau ini memangnya hendak memberikan khotbah ya. RUH : Aku Cuma mau mengingatkan ingatan tuan dalam hubungannya dengan arwah kami. Selanjutnya tuanlah yang menentukan pilihan langkah tuan sendiri. TUAN X TERTAWA TUAN X : Sudah, aku tidak pelukan khotbahmu. Akalku waras. Kalaupun aku sudah melangkah kelangkah sesat, itu bisa kuperbaiki kelak dengan bertaubat. RUH : Bertaubat? Ya, bahkan sudah tersurat, mereka yang celaka, yang sesat, kelak diakhirat akan mohon diberi kesempatan sekali lagi hidup dialam fana, hanya untuk bertaubat. TUAN X BANGKIT DENGAN PERASAAN DONGKOL TUAN X : Aku tadi bilang, aku akan bertaubat tidak diakhirat. Tapi disini, didunia ini, dalam hidupku. Bukan dalam matiku. RUH TERTAWA KECIL PARAU RUH : Adakah tuan punya pengetahuan yang dapat memastikan bila saat kematianmu tiba? Oo, fikirkan tuan sudah tidak berakal lagi. TUAN X : Setan, kau tuduh aku sudah sinting ya! PADA SAAT ITU JUGA NYONYA X MUNCUL DIIKUTI PELAYAN. KEDUA WANITA ITU KEHERANAN MELIHAT SIKAP TINGKAH TUAN X. NYONYA X NAMPAK CEMAS SEKALI. NYONYA X : Mas, mas, ada apa.... TUAN X TEKEJUT MELIHAT KEHADIRAN ISTERI DAN PELAYANNYA. BURU-BURU IA MENGHAMPIRI ISTERINYA SAMBIL MENUDINGKAN TANGAN KANANNYA KEARAH RUH YANG TEGAK MENATAP KETIGA MANUSIA ITU DENGAN SIKAP TENANG TENANG. TUAN X : Dinda, dia itu, dia setan celaka itu bilang aku sudah sinting. NYONYA X TERSENTAK, DAN TAMBAH CEMAS, SERAYA MENJERIT KECIL. NYONYA X : Setan!?! TUAN X : Ya setan, hantu. Itu dia ada disana, lihat dia meringis. Lihat.... NYONYA X : aku cuma lihat tembok. TUAN X : Jadi kau tidak lihat dia? Ooo.... TUAN X MENGHAMPIRI PELAYAN YANG DENGAN CEMAS TAKUT SETENGAH BERSEMBUNYI DIBELAKANG NYONYA X. TUAN X : Kau...kau, tentu kau lihat itu, kan. PELAYAN : Ti....tidak tuan. TUAN X : Celaka!!!! RUH : Cuma tuanlah, yang bisa lihat dan dengar bicaraku. TUAN X DENGAN SIKAP MARAH CEPAT MEMBALIK BADANNYA, MELOTOT KEARAH RUH SAMBIL TERIAK. TUAN X : Tutup mulutmu! NYONYA X : Mas! Aku tidak bicara apa-apa. TUAN X MEMBALIK LAGI, SAMBIL MENGHEMBUSKAN KELUHAN PANJANG. TUAN X : Bukan kau dinda yang kusuruh tutup mulut, tapi hantu celaka yang disana itu. NYONYA X : Disana mana? Mana?!? Aku Cuma lihat tembok, mas. RUH TERTAWA KECIL PARAU, YANG MENYEBABKAN TUAN X DENGAN MERADANG MEMBALIK, MAJU BEBERAPA LANGKAH DENGAN TINJU AMARAHNYA DITUJUKAN KE ARAH RUH. TUAN X : Kau tertawakan aku ya! NYONYA X : Tidak ada yang ketawa, mas. TUAN X MEMBALIK LAGI, MENGHAMPIRI ISTERINYA DENGAN KESAL TUAN X : Ya, kau tau bukan kalian yang ketawa, tapi setan jahanam itu! KEMUDIAN DENGAN SEGALA AMARAHNYA TUAN X TERIAK. TUAN X : Enyah kau, enyah! NYONYA X : Mas, kau mengusir aku, mas? TUAN X JADI TAMBAH KESAL, NAMUN CEPAT IA LAYANI ISTERINYA YANG NAMPAK KESAL CEMAS. TUAN X : Sendat aku jadinya. PELAYAN CEPAT MENGHADAP NYONYA X, BERKATA DENGAN SUARA KETAKUTAN. PELAYAN : Nyonya sudah lihat sendiri keadaan tuan. Pasti keranjingan setan, atau kena tenung sihir. NYONYA X MENGANGGUK-ANGGUK DAN DENGAN MASIH DIPENUHI KECEMASAN IA TERUS MEMANDANG SUAMINYA, YANG KARENA MENDENGAR SUARA PELAYAN LALU MENGHARDIK. TUAN X : Apa aku bilang tadi! RUH : Keranjingan setan. TUAN X MENGHANTAMKAN TINJUNYA KEATAS MEJA SAMBIL TERIAK KE ARAH RUH. TUAN X : Tutup mulut! NYONYA X : Aku tidak bicara apa-apa, mas. TUAN X : Ooo, bukan kau dinda, bukan kau. NYONYA X : Mas mungkin sekali kau kena guna-guna jahat. TUAN X : Tidak. Aku ketamuan ruh. Ruh seorang romusa celaka. NYONYA X : Ruh apa, mas. TUAN X : Ruh romusa. Tapi ah, apa perlunya semua ini kukatakan. Waktu itu usiamu mungkin baru sepuluh tahun, kau belum tau apa itu romusa. Sekarang yang penting, lekas tolong aku. Bawa kemari , dukun atau kyai, atau siapa saja untuk mengusir hantu itu. Lekas dinda, pakai mobil. Lekas! NYONYA X MENGANGGUK, TERUS CEPAT-CEPAT KELUAR DIIKUTI PELAYAN. BEGITU KEDUA WANITA ITU PERGI, BEGITU RUH KETAWA KECIL PARAU. TUAN X : Kau...kau mau apalagi, mau apalagi!!! RUH : Cuma mau pamit. Kita berpisah untuk sementara waktu. TUAN X : Apa maksudmu dengan sementara waktu, hah. Kau mau kembali ganggu aku seperti sekarang ini, begitu!?! RUH : Tidak usah tuan kuatirkan. Kita mungkin masih akan saling berjumpa lagi, dialam baka kelak. Itu yang kumaksudkan dengan perpisahan sementara waktu. RUH MELANGKAH KEPINTU RUANG TAMU. DIAMBANG RUH HENTI SESAAT, SAMBIL MERINGIS LEBAR KEARAH TUAN X YANG SUDAH LESU. RUH : Selamat berpisah. RUH TERUS KELUAR, TUAN X MEMIJATI DAHINYA SAMBIL TERKULAI DI KURSI. TANPA MENGHIRAUKAN KEPERGIAN RUH, TUAN X MEMBERI ISYARAT DENGAN TANGAN KIRINYA. ISYARAT MENGUSIR. TUAN X : Pergilah, pergilah, aku lagi sendat. TUAN X MENUTUP MUKA DENGAN KEDUA GENGGAM TANGANNYA. LALU IA KETAWA SENDIRI, SEPERTI ORANG GELI. PADA SAAT ITU JUGA NYONYA X MUNCUL DIIKUTI DOKTER YANG MEMBAWA TAS DOKTER. KEDUA ORANG ITU MENATAP TUAN X YANG MASIH BELUM MENGETAHUI KEHADIRAN MEREKA. TUAN X TERUS KETAWA GELI. TUAN X : Pergilah, pergilah. NYONYA X : Mas kau usir aku lagi? DOKTER CEPAT MEMBERI ISYARAT KEPADA NYONYA X, AGAR TIDAK MELAYANI SUAMINYA, YANG DIBALAS DENGAN ANGGUKAN OLEH NYONYA X. BERSAMAAN DENGAN GERAKAN KEPALA TUAN X MENEGADAH, MEMANDANG KEDATANGAN ISTERINYA DAN DOKTER. TUAN X MELEMPAR SENYUM KE ARAH ISTERINYA. TUAN X : Syukurlah sekarang si hantu celaka itu sudah pergi. Barusan aku bilang “pergilah”, maksudku menyilahkan si hantu pergi. Karena dia sudah mohon diri. Tapi siapa lelaki yang kau bawa ini. Untuk seorang dukun, kyai, dia terlalu modern potongannya. NYONYA X : Oo ini dokter mas. Dokter penyakit jiwa. TUAN X TERSENTAK, TAJAM PENDANGNYA MENATAP DOKTER. TUAN X : Dokter penyakit jiwa. Tidak tuan, aku bukan orang sinting. Aku tidak perlukan tuan dokter. Eh, rupanya isteriku salah alamat ambil tuan dokter. Dan sekali lagi tuan tidak berhadapan dengan pasien sinting. Jadi sebaiknya tuan dokter pulang saja. Selamat malam. TUAN X KETAWA KECIL SAMBIL MEROGOH SAKU CELANA. TUAN X : Tunggu dulu. Eh, terima dulu sekedar ongkos perjalanan tuan. TUAN X MENGELUARKAN LEMBARAN-LEMBARAN UANG BESAR, DAN MENGHITUNGNYA. MELIHAT GELAGAT SUAMINYA. NYONYA X MENGHAMPIRI DOKTER DENGAN MERAMAH. NYONYA X : Maafkan dokter, dia tidak bermaksud menghina dokter. DOKTER : Oo ya ya. Aku sudah biasa menghadapi orang-orang yang bersikap aneh. Aku maklum, nyonya. TUAN X SAMBIL KETAWA KECIL MENYODORKAN UANG KEPADA DOKTER. TUAN X : Isteriku benar. Aku tidak bermaksud menghina tuan. Terimalah ini semua. Eh, sekedar ganti rugi..... MENDADAK TUAN X BEROBAH WAJAHNYA. MELOTOT MATANYA MENATAP LEMBARAN-LEMBARAN UANG YANG MASIH DALAM GENGGAMANNYA. KETAKUTAN MENGHANTUI HATINYA. TUAN X : Ganti rugi!?! Ganti rugi romusa celaka. Celaka. TUAN X MELEMPAR LEMBARAN-LEMBARAN UANG, SEOLAH MELEMPAR BARANG NAJIS DARI GENGGAMANNYA. PANDANGANNYA TERUS TERTUJU PADA UANG YANG BERSERAKAN DILANTAI. PEROBAHAN MENDADAK NAMPAK PADA WAJAHNYA, DARI SIKAP TAKUT MENJADI SIKAP BERANI. TUAN X : Persetan, haram atau tidak. Semua ini kuperoleh dari hasil perahan akalku. Dan harta adalah harta. Nikmat! LEDAK TAWA TUAN X TANPA MEMPERHATIKAN PANDANGAN ISTERINYA DAN DOKTER, IA DENGAN LANGKAH TERHUNYUNG MASUK KEDALAM KAMAR TIDUR SAMBIL MENJERIT TAWANYA. NYONYA X : Dokter, ia nampak sangat parah. DOKTER : Aku akan cepat bertindak, nyonya. DOKTER BURU-BURU KEKAMAR TIDUR DIIKUTI NYONYA X. WAKTU SIANG. DALAM RUANG YANG SAMA. DOKTER, TENANG MEMPERHATIKAN NYONYA X YANG RESAH MELANGKAH HILIR MUDIK. NYONYA X : Hem, jadi keadaannya bertambah parah, dokter? DOKTER : Belakangan ini langkah daya fikirnya masih terus didesak mundur oleh daya khayal perasaannya. Sedemikian rupa hingga memperlihatkan gejala bahwa ia kini telah terlepas dari kontrol akalnya. Meski kadangkala ia berhasil membebaskan diri dari ilusi yang menghantui. Namun kekuatannya sudah tambah melemah. Nyonya, suami nyonya kini tengah dibayangi kegelapan batin. Satu khayali jahat yang mendadak lahir dari kenangan masa lampaunya pada suatu waktu, kini terus memburu dan mendera batinya pada perasaan ketakutan yang amat sangat. Pada perasaan dosa yang sangat menyiksa. NYONYA X DUDUK SAMBIL MENGHEBUSKAN NAFAS KELUHAN. NYONYA X : Kalau begitu, kini dia sudah tidak normal lagi. Begitu dokter? DOKTER MENGANGGUK. NYONYA X : Apa sekarang dia sudah.....sudah gila? DOKTER : Aku tidak bisa menyebut demikian, nyonya. NYONYA X : Tapi apakah mungkin ia akibat keparahannya lalu menjadi gila? DOKTER : Semua serba mungkin terjadi, nyonya. Namun secara pribadi aku lebih cenderung untuk menyatakan kemungkinan yang baik. Kemungkinan sembuh. Meski itu akan memerlukan waktu lama juga. Nyonya, harus ketahui bahwa sebab utama yang mengakibatkan dia terserang gangguan jiwa, adalah suatu kenangan hitam dari masa lampaunya pada babak sejarah hidupnya yang tertentu. Karenanya ijinkan aku bertanya, apa yang nyonya ketahui tentang masa lampaunya. NYONYA X : Sayang amat dokter, boleh dikata aku tidak tau apa-apa tentangnya. DOKTER : Nyonya, tidak tau apa-apa?!? NYONYA X : Nampaknya kurang meyakinkan dokter, bukan? Namun begitulah. Yang aku tau, ialah bahwa ia seorang duda. Pernah empat kali beristeri. Selalu diakhiri perceraian. Tanpa meninggalkan anak keturunan. Lagi yang aku tau, suamiku rupanya tak lagi punya anak kerabat. Tentang masa lampaunya? Dia tidak pernah bicara. Dan akupun tidak pernah berusaha untuk mengetahuinya. Sebab bagiku yang penting adalah masa kini dan masa depan. Satu hal lagi dokter. Aku nikah dengannya baru berbilang dua tahun ini. DOKTER : Hem, baiklah nyonya. Keterangan nyonya tadi sangat berharga. Namun aku senantiasa masih mengharap keterangan-keterangan yang bersifat pribadi tentang suami nyonya. Keterangan-keterangan mana akan sangat bermanfaat untuk menentukan terapi. Yang pasti akan sangat membantu kemungkinan perubahannya. DOKTER BANGKIT HENDAK PERGI, NYONYA X IKUT BANGKIT, CEPAT MENUKAS. NYONYA X : Dokter, sebagai tuan ketahui akulah satu-satunya wakil pribadi suamiku yang hak. Dan karena keadaan suamiku sekarang, aku mau tidak mau harus mewakilinya dalam segala urusan yang berhubungan dengan kekayaannya. Baik modal yang ditanam diberbagai bank diluar maupun dalam negeri. Serta modalnya diberbagai perusahaan besar. Untuk itu dokter, sangat kuperlukan surat keterangan dokter perihal keadaan suamiku. DOKTER : Ya, apa yang nyonya perlukan akan segera kusiapkan nanti. NYONYA X : Terima kasih. DOKTER MENUJU KE PINTU DIIRINGI NYONYA X. DOKTER : Selamat siang, nyonya. NYONYA X : Selamat siang, dokter. DOKTER TERUS PERGI. SESAAT NYONYA X TEGAK MENATAP KEARAH PINTU KAMAR TAMU. NAMPAK PEROBAHAN PADA WAJAHNYA. RASA SENANG MEMBAYANG PADA SENYUMNYA. LALU IA MEMBALIKKAN BADAN, LAMBAT-LAMBAT MELANGKAH SAMBIL BICARA PADA DIRI SENDIRI. NYONYA X : Kesempatan yang tak terduga untuk menikmati harta berjuta ini, ditanganku sendiri. Dan dengan keterangan dokter akan segera kutuntut perceraian dari cengkraman si tua. Dengan alasan gila, aku akan jadi pewaris tunggal seluruh kekayaan yang berlimpah ruah ini. Dan akan kupakai bernikmat dengan caraku sendiri. Pemuda-pemuda tampan sudah terlalu lama menantiku. NYONYA X SAMBIL SENYUM RIA MELANGKAH KE PINTU KAMAR TIDUR, TAPI BELUM LAGI IA MASUK, MENDADAK MUNCULLAH DARI PINTU KAMAR TAMU TUAN X DALAM PAKAIAN RUMAH SAKIT JIWA. TUAN X : Selamat bersua lagi, dinda tercinta. NYONYA TERSENTAK KAGET. KEKAGETANNYA SEKALIGUS MEMATIKAN SEGALA GAMBARAN PERASAAN RIANYA. IA MEMBALIK, NAMPAK RASA TAKUT PADA SOROT MATANYA TATKALA MELIHAT SUAMINYA SUDAH TEGAK BEBERAPA LANGKAH DIHADAPANNYA. TUAN X MERINGIS LEBAR. TUAN X : Mari kemari dinda.... NYONYA X : Kau.....kau..... TUAN X : Ya, aku suamimu. Bukan setan, bukan hantu. NYONYA X : Dari kandang gila. TUAN X KETAWA. TUAN X : Seperti yang kau lihat, aku pakai uniform khusus untuk penghuni kandang gila. Doktermu dan pembantu-pembantunya terlalu lengah, hingga dengan mudah aku bisa lolos. Ya, dokter terlalu ceroboh, hingga barusan tadi keluar ia tak bisa mencium bahwa sudah ada sembunyi dalam rumah ini. Eh, kau senang dinda. NYONYA X : Ya, mas. Tapi kau...kau sebaiknya istirahat dulu. TUAN X : Nasihat yang baik, dinda. Tapi tentu tidak dikandang gila. NYONYA X : Mas, kau harus mengerti.... TUAN X : Bahwa aku sinting!?! TUAN X KETAWA KECIL. TUAN X : Ya, aku tau bahwa kau senang. Tapi bukan karena aku kembali. Melainkan kerena aku jadi sinting. Bukankah benar dugaanku itu, dinda? NYONYA X CEPAT MELANGKAH KEMEJA KERJA HENDAK MERAIH TELPON. TAPI TUAN X CEPAT MEMBURUNYA, HINGGA ISTERINYA MUNDUR MEMBATALKAN MAKSUDNYA. TUAN X TERUS DUDUK DIKURSI KERJA, SAMBIL TAJAM MENATAP ISTERINYA YANG NAMPAK TAKUT. TUAN X MERINGIS LEBAR, WAJAH DAN SOROT MATANYA MENJALANKAN PENUH DENDAM. TUAN X : Kita memang pasangan yang serasi. Cocok, lagi ideal. Aku dengan watakku yang korup, serakah. Kau dengan watakmu yang culas, serong. NYONYA X TERSENTAK, WAJAHNYA MEMERAH DIBAKAR AMARAH. NYONYA X : Jangan bicara ngawur. TUAN X TERTAWA KECIL. TELUNJUKNYA DITUDINGKAN KEARAH ISTERINYA. TUAN X : Mari, jangan sembunyikan watak kucingmu dibalik bedak dan gincumu. Jangan sembunyikan bau apekmu dibalik taburan parfum. Jangan kira aku tidak tahu bahwa kau mau kukawinkan karena harta karun yang melimpah ini. Karena kau mengharap akan jadi ahli waris yang bakal memiliki harta karunku ini. Dan kini kau fikir segala harta ini sudah tinggal kau petik lagi. Bukan demikian dinda tercinta, dinda tersayang? NYONYA X : Sudah!!! Kau sudah tidak waras lagi. Dan aku tidak sudi jadi bini orang sinting! Bagimu sudah tidak ada lagi tempat didunia ini, selain dirumah gila. Bagimu sudah tak ada lagi hak untuk memiliki segala harta ini. Hidupmu tamat sudah. Kau sudah mati dalam hidup! NYONYA X MELANGKAH HENDAK KELUAR LEWAT PINTU KAMAR TAMU. TAPI LANGKAHNYA TERHENTI TATKALA TUAN X MENDADAK MENGELUARKAN PISTOL DARI LACI MEJA KERJA, DAN DITODONGKAN KE ARAHNYA. TUAN X : Tapi pasti mataku belum buta. Selangkah lagi kau bergerak, jantungmu yang lancung akan kurobek-robek dengan pelor timah ini. TUAN X BANGKIT, DENGAN GERAK KASAR MELANGKAH SAMBIL MENODONGKAN PISTOL DENGAN MATA YANG PENUH DENDAM. NYONYA X TIDAK TAHAN LAGI MENGHADAPI, IA TERUS LARI KELUAR. TUAN X MEMBURU, HENTI DIAMBANG PINTU, TERUS MENEMBAKKAN PISTOL BEBERAPA KALI, DIIRINGI SUARA JERITAN NYONYA X. LALU SEPI SESAAT. TUAN X MENATAP KEARAH KAMAR TAMU, DIMANA ISTERINYA SUDAH MENGGELETAK MATI. SAMBIL MENIMANG-NIMANG PISTOL TUAN X KETAWA KECIL. LALU BICARA SENDIRI. TUAN X : Kita memang pasangan yang serasi. Cocok, lagi ideal untuk pengisi neraka jahanam. Mari kita angkut seluruh harta terlaknat ini kekubur kelam. Tunggu sebentar lagi dinda, sebentar lagi. Sebelum kau kususul dengan jalan singkat lewat pelor yang akan kutembuskan keotakku. Aku akan ringkaskan dulu seluruh hartaku, seringkas-ringkasnya dalam bentuk.......abu! Ya, abu! Harta ini dihitami abu bangkai-bangkai manusia, dan akan kubawa kekubur bersama abu bangkai kita bersama. TUAN X TAWANYA MENGGILA KALAP. TERHUYUNG IA MENUJU KE PINTU KAMAR TIDUR, HENTI SESAAT DI AMBANG. TUAN X : Di sana dalam almari besi benteng penyimpan seluruh kunci harta jahanam. Mari kita angkut ke kubur kelam dalam abu dalam abu!!! TUAN X TERUS MASUK MENJERET TAWANYA YANG MENGGILA.

Naskah Drama : ROBOHNYA SURAU KAMI

ROBOHNYA SURAU KAMI Cerita : Ali Akbar Navis Penyadur/Adaptasi: Hermana HMT SEJENAK MUSIK BERGEMURUH. PERLAHAN TERDENGAR GESEKAN BIOLA ATAU LANTUNAN SERULING DIBARENGI GEMERCIK AIR DAN DESIR ANGIN. SAYUP-SAYUP TERDENGAR KUMANDANG ADZAN SUBUH. ORANG-ORANG MUNCUL DARI BERBAGAI ARAH, BERBARIS DI PANGGUNG SEPERTI MAU MELAKUKAN SHALAT. ADZAN USAI SESEORANG MELAPALKAN DOA SETELAH ADZAN, LALU ORANG-ORANG MENDENDANGKAN LAGU ”AL-ITIRAF “. PEMBACA DOA 1 Ya Allah, ya Tuhan kami jangan Engkau jadikan kami condong pada kesesatan Sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami,dan karuniailah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ( QS. Al-Imran 8 ) PEMBACA DOA 2 Ya Allah, ya Tuhan kami, Engkau masukan malam pada siang, Engkau masukan siang pada malam dan Engkau mengeluarkan yang hidup dari yang mati,Engkau mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau memberi rizki kepada siapa yang Engkau kehendaki dengan tidak terkira. ( QS. Al-Imran 27 ) PEMBACA DOA 3 Ya Allah yang mempunya kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki., Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebijakan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. ( Al-Imran 26 ) TIBA-TIBA SEORANG PEREMPUAN MUNCUL DAN MENANGIS SEPERTI ANAK KECIL. SEORANG PEREMPUAN Kini kakek itu sudah tidak ada lagi. Ia sudah meninggal. Dan tinggalah surau itu tanpa penjaganya. Sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Orang-orang itu semakin masa bodoh. Dan biang kebodohan itu ialah sebuah dongeng yang tidak dapat disangkal kebenarannya. PIMPINAN PENTAS Hei,hei,hei ! Berhenti ! Apa-apaan sih kamu ? Orang lain berdoa ini malahan menangisi yang tidak jelas. Sudah, tidak baik banyak bersedih hati. Yang sudah berpulang biarlah pulang dengan tenang, kita-kita yang akan mengikutinya nanti, dari sekarang lebih baik mempersiapkan bekal kepulangan kita itu. Agar nanti tidak tersesat atau masuk ke tempat yang tidak kita sukai. Sekarang lebih baik memperbaiki hidup daripada meratapi yang sudah mati. Sudah ya,jangan menangis lagi malu tuh sama orang-orang. Oh ya, penonton. Selamat berjumpa dengan kami. Maaf tadi saya memotong dulu. Pertunjukan sebenarnya belum dimulai. SEORANG PEREMPUAN Loh,loh. Yang barusan adegan apa ? PIMPINAN PENTAS Itu baru sambutan awal dan doa. SEORANG PEREMPUAN Jadi belum,ya ? PIMPINAN PENTAS Belum. ORANG-ORANG Huhhhh. PIMPINAN PENTAS Sudah, sudah ! Sekarang kalian duduk dulu yang rapi….Maaf pemirsa, barusan itu kesalah pahaman. Begini…eeeh.. tapi sekali lagi saya menghaturkan mohom maaf. Anu…eeh.. sebelum cerita dimulai, saya ingin sekali menyampaikan sepatah kata pada anda semua. Kenapa saya ingin sekali berkata-kata ? Tentu, karena saya kuatir setelah pertunjukan ini tiba-tiba ada gelombang protes besar-besaran. Maklumlah zaman reformasi. Jadi, sebelum cerita ini kami lanjutkan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila nanti ada kelancangan-kelancangan yang tidak berkenan dihati para pemirsa. Ini cerita bukan cerita sesungguhnya, tapi dongeng yang kebenarannya sangat bisa diragukan. Dongeng adalah dongeng. Dongeng bukan kenyataan, walau kadang ada nyatanya. Agar lebih jelasnya silahkan simak dengan hati yang lapang.begitu saja dari saya. Ayo anak-anak lanjutkan dongengannya, tapi jangan pakai tangis-tangisan lagi kesannya seperti telenovela. Siapa tadi yang nangis ? ORANG-ORANG Dia pak. PIMPINAN PENTAS Oh kamu. Awas ! Jangan pakai nangis lagi, ya ! Ayo mulai. TIBA-TIBA EMPAT ORANG PEREMPUAN MUNCUL DENGAN JERITAN DAN TANGISAN. PEREMPUAN SATU Tapi kakek itu sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggal surau itu tanpa penjaganya, hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar seing mencopoti papan dinding lantai di malam hari. PEREMPUAN DUA Jika kalian datang sekarang,hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. PEREMPUAN TIGA Dan kecerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. PEREMPUAN EMPAT Dan terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang,yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaganya lagi. PIMPINAN PENTAS Aduh, aduh, aduh, aduh ! Sudah saya bilang jangan pakai sedih-sedihan, malahan makin banyak yang bersedih. Bagaimana kalian ini ? Hei ! Negeri kita ini sedang bersedih.jangan ditambah-tambah lagi kesedihannya.Sudah, sudah ! Lebih baik sekarang kalian bernyanyi. Mau enggak ? ORANG-ORANG Mauuuu. PIMPINAN PENTAS Bagus. Bagaimana musik, siap ? PEMUSIK Siap bos. Nyanyi apa ? PIMPINAN PENTAS Katanya siap. Lagunya anu.. eh.. ” Ajo Sidi “. Mulai. ORANG-ORANG BERNYANYI. Ajo Sidi oh Ajo Sidi Pendongeng dari sebrang sana Tak henti-henti berceloteh Hingga orang terpana bualannya Ajo Sidi oh Ajo Sidi Kerjaannya sidir menyindir Mejerat hati tiap orang Jadi sumber ejekannya PIMPINAN PENTAS MEMBERHENTIKAN ORANG-ORANG YANG SEDANG ASIK BERYANYI DAN MENARI. ORANG-ORANG GUSAR, TAPI SEMUANYA DAPAT DITERTIBKAN. SAYUP-SAYUP TERDENGAR SUARA SERULING DIBARENGI GESEKAN BIOLA, GEMERCIK AIR DAN DESIR ANGIN . SEORANG KAKEK SEDANG TERMANGU SAMBIL MEMENGANG PISAU CUKUR. LAKI-LAKI Assalamualaikum… assalamualaikum… assalamualaikum. Biasanya kakek gembira menerima kedatanganku, karena aku suka memberinya uang, tapi sekali ini begitu muram.Tidak pernah aku melihat kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat ini. LAKI-LAKI ITU MENGAMBIL SALAH SATU PISAU CUKUR YANG TERGELETAK DI SAMPING SI KAKEK. LAKI-LAKI Pisau siapa, Kek ? KAKEK Ajo Sidi ! LAKI-LAKI Ajo Sidi ? ( KAKEK TIDAK MENYAHUT. HENING SEJENAK ) Apa Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek ? KAKEK Siapa ? LAKI-LAKI Ajo Sidi. KAKEK Kurang ajar dia. LAKI-LAKI Kenapa, Kek ? KAKEK Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya. LAKI-LAKI Kakek marah ? KAKEK Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tidak marah-marah lagi. Takut kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah, bertawakal kepada Allah. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepadaNya. Dan Allah akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal. LAKI-LAKI Bagaimana katanya, Kek ? ( KAKE DIAM SAJA. BERAT HATI BICARA ). Bagaimana katanya, Kek ? KAKEK Kau kenal padaku, bukan ? Sedari kecilkau aku sudah di sini. Sedari muda, bukan ? Kau tahu apa yang aku lakukan semua, bukan ? Terkutuklah perbuatanku ? Dikutuki Tuhan kah semua pekerjaanku ? DIAM SEJENAK. Sedari muda aku di sini, bukan ? Tak kuingat punya istri, punya anak, penya keluarga seperti orang lain, tahu ? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tidak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku,lahir batin, kuserahkan pada Allah subhanahu wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu ? Akan dikutukiNya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepadaNya ? Tak kupikirkan hari esok,karena aku yakin Allah itu ada dan pengasih penyang kepada umatNya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk, membangunkan setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca kitabNya. Apa salah pekerjaanku itu ? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. LAKI-LAKI Ia katakan Kakek begitu ? KAKEK Ia tidak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kira. LAKI-LAKI Ajo Sidi memang kurang ajar. Apa lagi yang dikatakan Ajo Sidi, Kek ? KAKEK Pada suatu waktu dia bicara padaku. Dia bialang. MUSIK BERGEMURUH. AJO SIDI Di akhirat Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di sampingNya. Ditangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Bigitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan diantara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukan ke surga. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyuman ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya,seolah hendak mengatakan “sampai ketemu nanti “. Begitu tak habis-habisnya orang yang berantri, begitu panjangnya. Susut di muka bertambah di belakang. Akhirnya sampai giliran Haji Saleh. MUSIK BERGEMA, ANGIN BERGEMURUH. SUARA Engkau siapa? HAJI SALEH Aku Saleh. Karena aku sudah ke mekah Haji Saleh namaku. Tuan ini siapa ? SUARA Jangan banyak bertanya. Apa kerjamu di dunia ? HAJI SALEH Aku menyembah Tuhan. SUARA Lain ? HAJI SALEH Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Nya. SUARA Lain ? HAJI SALEH Segala larangan-Nya kuhentikan. Tidak pernah aku berbuat jahat, walau dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dibisikan iblis laknat itu. SUARA Lain ? HAJI SALEH Tak ada pekerjaanku selain beribadat padaNya, menyebut-nyebut namaNya. Bahkan ketika aku sakit namaNya menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hatiNya untuk nginsafkan umatNya. SUARA Lain ? LAMPU MENYINARI AJO SIDI YANG MELANJUTKAN DONGENGANNYA. AJO SIDI Haji saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segalanya yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan yang dilontakan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Hawa panas api neraka tiba-tiba menghembus ketubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap airmatanya mengalir, di isap kering oleh hawa panas neraka itu. MUSIK BERGEMA. HAJI SALEH MENGIGIL KETAKUTAN. ORANG-ORANG BERGERAK SEPERTI JOMBI. SUARA Lain lagi ? HAJI SALEH Sudah saya ceritakan semuanya. Oh, Tuhan yang Maha Besar, lagi pengasih dan penyayang, Adil dan Maha Tahu. SUARA Tidak ada lagi ? HAJI SALEH Oh, o, oo, aku selalu membaca kitabNya. SUARA Lain ? HAJI SALEH Sudah kuceritakan semuanya. Tapi kalau ada yang aku lupa aku mengatakannya, aku pun bersyukur karena yang maha tahu itu Tuhan. SUARA Sungguh tidak ada lagi yang kau kerjakan di dunia selain yang kau ceritakan tadi ? HAJI SALEH Ya, itulah semuanya. SUARA Maksud kamu ? MUSIK BERGEMURUH. AJO SIDI Haji saleh tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi. Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti mengapa ia dibawa ke neraka. Ia tidak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap. PENDONGENG 1 Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tak tambah mengerti dengan keadaan dirinya, karena yang dilihatnya di neraka itu tidak kurang ibadahnya dari diri dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke mekah dan bergelar Syekh pula. PENDONGENG 2 Lalu haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya pada mereka kenapa berada di neraka semuanya. Tapi sebagaimana haji Saelah orang-orang out pun tak mengerti juga. SEMUA ORANG BERISTIGFAR. HAJI SALEH Bagaimana ini ? Bukankah kita disuruhNya taat beribadah, teguh beriman ? Dan itu semua telah kita kerjakan selelama hidup kita. Tapi kita kini dimasukan ke dalam neraka. TOKOH LAIN Ya kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat. HAJI SALEH Ini sungguh tidak adil. ORANG-ORANG Memang tidak adil. HAJI SALEH Kita harus mengingatkan Dia, kalau-kalau Ia silap memasukan kita ke neraka ini. ORANG-ORANG Benar, benar, benar. TOKOH LAIN 2 Kalau dia tidak mau mengakui kesilafanNya, bagaimana ? HAJI SALEH Kita protes. Kita resolusikan. TOKOH LAIN 3 Apa kita revolusikan juga ? HAJI SALEH Itu tergantung kepada keadaan. Yang penting sekarang, mari kita berdemontrasi mengadapNya. TOKOH LAIN Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demontrasi saja, banyak yang kita peroleh. ORANG-ORANG Setuju, setuju, setuju. SEMUA ORANG BERGERAK. MUSIK BERGEMURUH. HAJI SALEH Oh, Tuhan kami Yang Maha Besar. Kami menghadapMu. Ini adalah umatMu yang paling taat beribadat, yang pang taat menyembahMu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut NamaMu, memuji-muji kebesaranMu, mempropagandakan keadilanMu, dan lain-lainnya. KitabMu kami hapal di luar kepala kami. Tidak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi Tuhanku Yang Maha Kuasa, setelah Engkau kami panggil kemari, Engkau masukan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tidak diingini, di sini, atas nama orang-orang yang cinta kepadaMu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitabMu…. Mari kita menghadap Dia. ORANG-ORANG BERGERAK SEPERTI AKAN DEMONSTRASI. SUARA Kalian mau apa lagi. HAJI SALEH Kami ingin bertemu Tuhan. SUARA Tidak bisa. HAJI SALEH Harus ini sangat penting. Ini menyangkut nasib kami. SUARA Kamu mesti tahu. Tuhan telah menugaskan aku untuk menuntut kalian. HAJI SALEH Kamu ini sebenarnya siapa ? SUARA Tadi kan sudah kukatakan, aku adalah dirimu sendiri dan kalian semua. HAJI SALEH Aku tidak peduli… SUARA Sudah jangan banyak cingcong. Sekarang aku bertanya lagi pada kalian. Kalian di dunia tinggal di mana ? HAJI SALEH Kami ini adalah umat Tuhan yang tinggal di Indonesia. SUARA Oh, di negeri yang tanahnya subur itu ? HAJI SALEH Ya, benar. SUARA Tanah yang kaya raya, penuh dengan logam, minyak dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan ? ORANG-ORANG Benar, benar, itulah negeri kami. SUARA Di negeri yang tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa di tanam ? ORANG-ORANG Benar, benar itulah negeri kami. SUARA Di negeri di mana penduduknya sendiri meralat ? ORANG-ORANG Ya, Ya, itu negeri kami. SUARA Negeri yang di perbudak orang lain ? TOKOH LAIN Ya sungguh laknat penjajah itu. SUARA Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya, dijarah, bukan ? TOKOH LAIN 2 Benar. Hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu. SUARA Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan ? HAJI SALEH Benar. Tapi bagi kami soal harta benda itu tidak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Tuhan. SUARA Engkau rela tetap meralat, bukan ? ORANG-ORANG Benar kami rela sekali. SUARA Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga meralat, bukan ? TOKOH LAIN Sungguhpun anak cucu kami meralat, tapi mereka semua pintar mengaji. Alkitab mereka hapal di luar kepala. SUARA Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semuanya. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengagambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antar kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Tuhan beri negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedangkan Tuhan menyuruh engkau beramal disamping beribadah. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira Tuhan suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak ! Karena itu kamu semua masuk neraka dan di letakan di keraknya. ORANG-ORANG TIDAK BERGERAK APA-APA LAGI. MEREKA TERMANGU, TAPI HAJI SALEH MASIH SAJA TIDAK PUAS. HAJI SALEH Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia ? SUARA Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau telah mementingkan diri sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaumu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kocar-kacir selamanya. Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egois. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun. MUSIK TERDENGAR MEMILUKAN. TERDENGAR SESEORANG BERTERIAK. SAYUP-SAYUP SESEORANG SEDANG MENGAJI. SESEORANG Bunuh diri. Ada yang bunuh diri. ORANG-ORANG Di mana ? SESEORANG Di surau. Ia menggorok lehernya dengan sebilah pisau cukur. ORANG-ORANG Astagfirulahal’adzim. ORANG-ORANG BERGERAK. PEREMPUAN Mas. Mas. Mas. Apa tidak menjenguk ? LAKI-LAKI Siapa yang meninggal ? PEREMPUAN Kakek. LAKI-LAKI Kakek ? PEREMPUAN Ya, tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur. LAKI-LAKI Astagfirulahal’adzim. Ini pasti gara-gara Ajo Sidi. SEMUA DIAM. PIMPINAN PENTAS Ternyata kita tidak bisa lepas dari kenyataan. Hidup dan mati bukanlah milik kita. Kita di sini hanya mengembara dan kita semua akan kembali. Kematian memang menyedikan, tapi yangpiling menyedihkan jika kerja keras kita hasilnya sia-sia. MUSIK BERGEMURUH. TAMAT Catatan Cerita ini diambil dari sebuah cerpen ” Robohnya Surau Kami ” karya AA. Navis.

Naskah Drama : FAJAR SIDDIQ

FAJAR SIDDIQ KARYA : EMIL SANOSSA PARA PELAKU: MARJOSO SERSAN AHMAD H. JAMIL ZULAECHA Sebuah markas gerilya, terlihat sebuah ruangan, satu pintu, satu jendela sel, meja tulis dan dua kursi dan satu bangku, peti mesiu, helm dan ransel tergantung. Suasana: malam hari, keadaan sepi, tegang, jauh-jauh masih terdengar letusan tembakan dan iring musik sayup-sayup instrumental Gugur Bunga, kemudian muncul Marjoso membawa surat, kemudian duduk membaca. Muncul seorang sersan. 1. MARJOSO : Jadi, sudah terbukti dia bersalah. 2. SERSAN : Ya, Pak. 3. MARJOSO : Tidak berdasarkan kira-kira saja? 4. SERSAN : Bukti-bukti telah cukup mengatakan, dan mereka menuntut eksekusi dapat dijalankan sebelum fajar. 5. MARJOSO : Menuntut? Kau kira siapa yang bertanggung jawab di sini? 6. SERSAN : Sudah terang! Tapi mereka khawatir, karena ..... karena si terhukum adalah ........ 7. MARJOSO : (cepat) Adalah kawanku? ...... Anak dari seorang guru yang kau hormati? Begitu? 8. SERSAN : Maaf, Pak. 9. MARJOSO : (mengeluh) Mereka pikir, apa aku ini? Mereka pikir dalam hal ini aku masih sempat memikirkan dia, anak dari seorang guru yang aku hormati. Kalau aku mintakan dia diperlukan dengan baik, itu adalah haknya sebagai tawanan. 10. SERSAN : Maaf, Pak. Kerap kali terjadi. 11. MARJOSO : Yaaaaaahh! Kerap kali terjadi. Orang tidak bisa membedakan antara tugas dan perasaan. Bawa dia kemari. 12. SERSAN : Siap, Pak! (sersan masuk, Marjoso melangkah, kemudian duduk. Terdengar nyanyian dalam penjara. Marjoso marah) 13. MARJOSO : Hai! Siapa yang meraung dini hari? 14. (NARATOR) : Siapa lagi kalau bukan si Djaelani pemabuk itu! 15. MARJOSO : Suruh dia diam. (kemudian Sersan masuk menghadap Marjoso, membawa seorang tawanan, sersan diperintahkan keluar dengan segera) 16. AHMAD : (menunggu dengan cemas) 17. MARJOSO : (menyuruh duduk) Ahmad, kau tak apa-apa, bukan? 18. AHMAD : Mereka bilang, kalau bukan kerena kau, aku sudah di satai. Terimakasih atas kebaikanmu itu. 19. MARJOSO : Terimakasih itu tak perlu. 20. AHMAD : Baiklah, apa yang akan kau perbuat atas diriku, perbuatlah! Kini aku tawananmu. 21. MARJOSO : (kata-kata itu menyayat seakan-akan memisahkan hubungan masa lalu) Ya ............. kau tawananku. 22. AHMAD : Tembaklah! Biar kau puas. 23. MARJOSO : (merasakan itu sebagai sindiran yang tajam) Itu perkara nanti. Tapi aku ingin mendengarkan dari mulutmu sendiri tentang semuanya ini dulu. 24. AHMAD : Apa yang ingin kau dengar? 25. MARJOSO : Dengan maksud apa kau kemari? (Ahmad membisu) Jawab Ahmad! Hanya itu yang ingin kutanyakan. Aku tidak ingin menanyakan tentang apa-apa yang telah kau perbuat. Aku tidak ingin menanyakan berapa jumlah prajuritku yang gugur terjebak tipu dayaku ....... Jawablah! 26. AHMAD : (tersenyum dingin) Tidakkah kau tahu, bahwa antara anak dan orang tuanya senantiasa terjalin ikatan yang tak terputuskan? 27. MARJOSO : Jangan kau coba mengelak, Ahmad! 28. AHMAD : (menegaskan suaranya) Aku ingin menjumpai ayah dan adikku Zulaecha. 29. MARJOSO : Tahukah kau tempatnya? 30. AHMAD : Tidak. 31. MARJOSO : Dari mana kau tahu kalau ayah dan adikmu di sini? 32. AHMAD : Dari orang-orang yang pernah datang kemari. 33. MARJOSO : Hmmmmm. Sebelum tertangkap kau sudah lebih kurang tiga hari berkeliaran di daerah ini, bukan? 34. AHMAD : Tidak! Tepat pada waktu aku sampai, aku terus ditangkap. 35. MARJOSO : Jangan bohong, Ahmad! 36. AHMAD : Aku tidak bohong. 37. MARJOSO : Di mana kau ditangkap? 38. AHMAD : Di tengah-tengah bulak. 39. MARJOSO : Mengapa kau di sana? 40. AHMAD : Aku sedang melepaskan lelah. 41. MARJOSO : Melepaskan lelah di tengah-tengah bulak? Ha .... ha ... ha ... 42. AHMAD : Aku tersasar. Aku belum pernah memasuki daerah ini. 43. MARJOSO : Waktu itu sebuah pesawat capung melayang-layang di atas bulak itu pula, bukan? 44. AHMAD : Ya! Tapi itu hanya secara kebetulan. 45. MARJOSO : Engkau tidak takut ditembak dari atas, Ahmad? 46. AHMAD : Aku takut juga. 47. MARJOSO : Mengapa kau tidak berlindung? 48. AHMAD : Aku berlindung. Aku rapatkan diriku rapat-rapat ke tanah. 49. MARJOSO : (mengambil sebuah cermin kecil di atas meja) Ahmad, ini cerminmu bukan? 50. AHMAD : (gugup sejurus) Ya. 51. MARJOSO : Hm, pesolek, benar, kau sekarang ...Apa gunanya cermin ini? 52. AHMAD : Cermin gunanya untuk mengaca. 53. MARJOSO : Ada sisirmu, Ahmad? Kau bawa sisir? 54. AHMAD : Hilang! 55. MARJOSO : (menatap Ahmad, tenang) Ya, Ahmad. Mengapa engkau bohongi aku? Baiklah kau takut pesawat capung itu menembakmu, bukan? 56. AHMAD : (tersadar, akan masuk perangkap) Maksudku ... akan ... aku tidak begitu takut. 57. MARJOSO : Mengapa? 58. AHMAD : Karena ....... karena ....... 59. MARJOSO : Karena apa? 60. AHMAD : Karena itu hanya pesawat capung. 61. MARJOSO : Tapi engkau tiarap juga, bukan? 62. AHMAD : (tak segera menyahut) .....................Ya. 63. MARJOSO : Dan engkau keluarkan cerminmu pada waktu itu. Barangkali kau pikir itu adalah kesempatan yang baik bagimu untuk melihat mukamu kena debu atau tidak. Kemudian orang melihat pantulan cerminmu bermain ke kiri dan ke kanan (Ahmad tetap membisu) Mengapa begitu, Ahmad? 64. AHMAD : Aku tidak tahu (perasaannya cemas sekali). 65. MARJOSO : (marah) Dusta! Dusta kau!!! 66. AHMAD : (tersentak) Engkau toh tahu aku akan berdusta. 67. MARJOSO : (merendah kembali) Mengapa engkau dustai aku, Ahmad? 68. AHMAD : Karena aku senang untuk berbuat begitu. 69. MARJOSO : (mula-mula perlahan kian lama kian berkobar) Engkau binatang yang tak perlu di beri ampun. Bukankah engkau yang membakar pesantren ayahmu? 70. AHMAD : Tidak! Tidak ........ aku tidak membakarnya. 71. MARJOSO : (mengatasi suara Ahmad) Engkau tak membakarnya. Tapi engkau biang keladi yang menyebabkan pesantren itu terbakar. Pesantren yang mewarisi tradisi turun-temurun. Mulai dari buyutmu, kakek-kakekmu sampai ke ayahmu. Pesantren tempat ayahmu menempa pemuda-pemuda yang bertanggung jawab akan hari depan agama dan tanah airnya, bangsanya. Ahmad ..... engkau tidak menyesali semua itu? (terdiam sebentar-sebentar menarik nafas). Oh, Ahmad, tidakkah engkau takut akan siksa Tuhanmu? Bagaimana kelak dosamu akana membakar dirimu? 72. AHMAD : Itu tanggunganku. Resiko! 73. MARJOSO : (ke depan) Oooooooo, jiwa yang tak lebih berharga dari pada jiwa seekor anjing. Berapa banyaknya air mata yang harus dicucurkan para ibu untuk mengenang murid-murid ayahmu yang hangus terbakar bersama pesantren yang dicintainya, Ahmad. 74. AHMAD : (tegas) Tapi, siapakah yang akan mencucurkan untuk rubuhnya ibuku? Siapa yang suka berkata: ”Akan kutuntut kematian ini!” Siapa yang akan membalas dendamnya? 75. MARJOSO : Diam kau! (Ahmad tertunduk). Angkat mukamu, pengkhianat! Pandanglah aku untuk kali yang penghabisan. Karena malam ini juga rakyat menuntut darahmu. 76. AHMAD : Aku tidak sudi memandang muka seorang pembunuh. 77. MARJOSO : (tersentak sejurus) Angkat mukamu, pengecut. 78. AHMAD : (mengangkat mukanya perlahan-lahan) Aku telah mengangkat mukaku, Marjoso. Aku telah mengangkat mukaku, seperti dulu, tatkala kudengar serentetan tembakan. Dan kemudian rubuhlah ibuku .... mati. Aku telah mengangkat mukaku. Marjoso. 79. MARJOSO : (setelah berfikir) Dengarkan aku, bicara! Pandanglah aku untuk penghabisan kalinya. Kenangkanlah kembali kawan-kawanmu. Kenangkanlah tatkala mereka dengan sepenuh tenaganya mengangkat tangan dan menyeru: MERDEKA.....MERDEKA! kemudian mereka tak kuasa lagi mengepalkan tinjunya. Mereka roboh berlumur darah. Kenangkanlah, betapa api telah memusnahkan mereka. (Ucapan ini mempengaruhi Ahmad, sehingga ia duduk termenung) 80. AHMAD : Aku kenangkan itu. Aku menangkan ...... Mereka menang lalu mati. Dan aku ..... Ohhh, kemudian .... Letupan yang dasyat a ... aku terlempar. Aku lihat ayah .... Terbungkuk-bungkuk dan lari bersama Zulaecha. Aku menyeru mereka ... tapi tak terdengar. Aku hanya mendengar suaraku sendiri. Aku juga mendengar suara ayahku. Syahid, ya anakku” kemudian fajar yang memerah, yang kian terang. Aku lihat ..... Oh, siapa yang akan menuntut balas kematiannya? Siapa? (menggigil, tangannya gemetar) Marjoso! ..... 81. MARJOSO : (memanggil seorang prajurit) Sersan! (seorang prajurit menghadap) Bawa tawanan itu ke dalam. 82. AHMAD : (tergagap-gagap) Marjoso. Engkaulah .... Engkaulah..... (Ahmad tak dapat melanjutkan perkataannya prajurit itu telah membawanya) (Marjoso tertegun, suara nyanyian terdengar makin keras, kemudian terdengar ketukan pintu) 83. MARJOSO : Masuk! ..... (H. Jamil masuk) Pak Kyai .... 84. HAJI JAMIL : Terlalu terhormat kalau dia di tembak. Seharusnya dia digantung. 85. MARJOSO : Silakan bapak duduk. Saya ingin mendengarkan pertimbangan-pertimbangan bapak. 86. HAJI JAMIL : Pertimbangan apa? Ragukah kau menggantung dia? 87. MARJOSO : Bukan begitu, bapak. Ahmad sudah terang bersalah. Dan dia harus menerima hukumannya. Namun, pada saat-saat terakhir, karena bapak adalah ayahnya, saya juga perlu mendatangkan bapak kemari. 88. HAJI JAMIL : Dia bukan anakku. Haji Jamil tidak mempunyai anak pengkhianat. 89. MARJOSO : Harap diingat, Pak. Malam ini adalah malam terakhir bagi Ahmad. Tentulah bapak sependapat dengan saya, bahwa saat-saat yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah saat manusia menghadapi mautnya. Saat-saat itu memerlukan persiapan dan bimbingan. Pada saat-saat terakhir, saya ingin dia mati sebagai putra bapak, sebagai murid Pak Kyai. Saya ingin dia mati bukan sebagai anjing. 90. HAJI JAMIL : Kutukan apa yang ditimpakan kepadaku ini? Oh anakku? 91. MARJOSO : Pak Kyai! 92. HAJI JAMIL : Aku telah besarkan anak itu. Aku turunkan ilmuku, karena dialah yang kuharapkan segala-galanya. Tetapi, mengapa dia tidak mengerti perjuangan bangsanya sendiri? Aku sungguh tidak mengerti. Balasan apa yang harus kuterima ini, Marjoso? 93. MARJOSO : Pak Kyai tidak boleh menyesali diri hanya lantaran dia. Beratus-ratus murid bapak, bahkan beribu-ribu yang senantiasa menyebut-nyebut nama Kyai dengan hormat dan khidmat. Beribu murid yang akan mewarisi cita-cita bapak, dan meneruskan cita-cita itu. Marilah kita tidak bicarakan hal itu. Kini kita membicarakan seorang putra, yang walau betapa sesat pun, dia masih seorang putra. 94. HAJI JAMIL : (getir) Bagaimana harus kujawab, kalau seandainya pada hari pengadilan tertinggi yang Maha Kuasa bertanya padaku tentang tanggung jawabku. Mengapa anakmu menjadi musuh bangsaku, Haji Jamil? Bagaimana kau mendidiknya? 95. MARJOSO : Demi sesungguhnya ,Pak Kyai, bagaimana kita harus melawan suratan Tuhan? Adalah takdir semata kalau Ahmad berbeda dengan ayahnya. 96. HAJI JAMIL : (tersentak agak gusar) Takdir semata? Apa yang kau ketahui tentang takdir, Marjoso? Tuhan memberikan kebaikan-kebaikan kepada kita, Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan kepada kita. Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan untuk melawan keburukan-keburukan pada kita. Tuhan memberikan alat-alat yang kita perlukan untuk memenuhi panggilannya sebagai makhluk semulianya makhluk. Tuhan tidak menakdirkan Ahmad sebagaia musuh bangsanya. Dia sendiri yang berbuat begitu. Dia sendiri yang menentukan harus mati sebagai dia. Tuhan memberinya akal, mengapa tidak dipergunakan akalnya untuk menginsyafinya, bahwa perbuatan yang sehina-hinanya di permukaan bumi ini adalah mengkhianati bangsanya sendiri. 97. MARJOSO : Terima kasih, Pak Kyai. 98. HAJI JAMIL : Anak itu harus mempertanggungjawabkan seluruh dosanya. 99. MARJOSO : Saya ingin mempertemukan dia dengan ayahnya. Mungkin ini adalah pertemuan kyai yang penghabisan, dalam keadaan dia masih mungkin dibimbing ke jalan yang diridhoi Allah, walaupun beberapa saat sebelum ia harus mati. Sukakah Pak Kyai memenuhi permintaan saya ini? 100. HAJI JAMIL : (terdiam sejurus) Dapatkah aku penuhi permintaanmu itu, Marjoso? 101. MARJOSO : Mengapa tidak, Pak Kyai? 102. HAJI JAMIL : Dapatkah aku berhadapan dengan anjing yang harus kupangil anakku? 103. MARJOSO : Pak Kyai ........... mengapa tidak? 104. HAJI JAMIL : Tidak, ......tidak! .........Gantung saja dia! Tak perlu aku melihat mukanya lagi. 105. MARJOSO : Benar-benar relakah Pak Kyai? 106. HAJI JAMIL : Aa..., aku rela! 107. MARJOSO : Namun, dialah putra yang pernah Pak Kyai harapkan, dialah putra yang pernah Pak Kyai bisikkan dalam telinganya kalimat azan tatkala ia lahir. Masih ada beberapa saat lagi di mana bapak mungkin bisa mengharapkan sesuatu darinya, penyesalan umpamanya, atau taubat nasukha. 108. HAJI JAMIL : Tidak! Tidak ada gunanya sedikitpun mengharap dalam nama Allah. 109. MARJOSO : Tidak inginkah Pak Kyai agar Ahmad mati dengan menyebut nama Allah? 110. HAJI JAMIL : Tidak! 111. MARJOSO : Tidak, Pak Kyai? 112. HAJI JAMIL : (setengah mengharap) Oh, Marjoso ............. Aku telah berharap-harap dan harapanku dihancurkan, dimusnahkannya .................. 113. MARJOSO : Pak Kyai, aku mohon sudi kiranya ...... 114. HAJI JAMIL : (cepat menyahut) Tak perlu, Marjoso, tak perlu aku lihat mukanya lagi. 115. MARJOSO : (berfikir sejurus) Baiklah Pak Kyai, saya sudah menawarkan kesempatan. (memanggil seorang prajurit) Sersan! (seorang prajurit menghadap) Sudah siap regu tembak? 116. SERSAN : Siap, Pak! 117. HAJI JAMIL : (bingung dan gugup) Nanti dulu, dia akan ditembak sekarang? 118. MARJOSO : Saya menundanya hanya untuk memberikan kesempatan pada Pak Kyai. 119. HAJI JAMIL : (mengeluh) Oh, Tuhan, mengapa kau timpakan bencana ini kepada hamba-Mu? Hamba-Mu yang tak sekejappun melupakan engkau! 120. MARJOSO : Pak Kyai! 121. HAJI JAMIL : Mengapa justru di akhir hayatku Engkau panggil semua yang kucintai. 122. MARJOSO : Tawakallah Kyai! 123. HAJI JAMIL : (menenangkan dirinya) Asstaghfirullah! ........... Ampunilah aku lantaran menyesali engkau (kepada Marjoso). 124. MARJOSO : (memerintah Sersan) Sersan! Bawa Ahmad menghadap! 125. SERSAN : Siap, Pak! (berangkat) 126. MARJOSO : Tenangkanlah jiwa Pak Kyai. 127. HAJI JAMIL : Aku telah kehilangan segala-galanya. 128. MARJOSO : Kecuali iman, Pak Kyai 129. HAJI JAMIL : Yaaaach, kecuali iman. 130. KURIR : (masuk) Seorang anak wanita bernama Zulaecha minta menghadap, Letnan! 131. MARJOSO : (memandang Kyai seolah meminta pertimbangan) Zulaecha Pak Kyai. 132. ZULAECHA : (sebelum kurir keluar, Zulaecha sudah meuncul di pintu) 133. HAJI JAMIL : Mengapa kau ikut kemari? 134. ZULAECHA : Aku ingin melihat abangku. 135. HAJI JAMIL : Mengapa kau pedulikan dia? 136. ZULAECHA : Dia abangku, ayah, tidak bolehkah aku melihat abangku? 137. MARJOSO : Tentu saja engkau boleh menemuinya. 138. HAJI JAMIL : Tidak! 139. ZULAECHA : Mengapa aku tidak boleh menemuinya ayah? 140 HAJI JAMIL : Anjing geladak itu segera mampus! 141. ZULAECHA : Ayah! ..... Ayah mengatakan anakmu Bang Ahmad anjing geladak? 142. HAJI JAMIL : Itu lebih baik daripada nama pengkhianat nusa dan bangsa. 143. ZULAECHA : Tapi dia anakmu, ayah. 144. HAJI JAMIL : Zulaecha. Engkau mencoba mempengaruhi peradilan ini dengan emnghbungkan darah? 145. MARJOSO : Kholifah Umar membunuh anaknya sendiri yang durhaka (menginsyafkan Zulaecha) 146. ZULAECHA : Ayah, aku anakmu ........... Dia anakmu. Dia satu-satunya saudaraku. Satu-satunya .............! 147. HAJI JAMIL : Cukup! Pulang kau! Aku rela dia dibunuh. Aku rela dia dilenyapkan. Karena dengan lenyapnya dia, lenyap pula satu di antara beratus-ratus penghalang untuk kemenangan republik. 148. MARJOSO : Terima kasih, Pak Kyai, izinkan saya menemuinya dahulu. (keluar) 149. ZULAECHA : Ayah, kalaupun dia mati, kepada siapa aku berlindung? Kepada siapa aku harus menumpangkan diri, kalau ............ kalau takdir Tuhan menghendaki Ayah kembali kepadanya. 150. HAJI JAMIL : Zulaecha! 151. ZULAECHA : Kepada siapa, Ayah? 152. HAJI JAMIL : Kepada Yang Maha Pelindung, Allah SWT. 153. ZULAECHA : Kalau pada suatu saat aku minta pertolongan, ayah? 154. HAJI JAMIL : Kepada Yang Maha Kuasa! 155. ZULAECHA : Hanya itu, Ayah? 156. HAJI JAMIL : Kepada-Nya-lah aku serahkan engkau. Bukan saja nanti, tapi sekarang juga! Sekarangpun aku senantiasa memohon perlindungan Tuhan bagimu. 157. ZULAECHA : (terdiam sejurus) Ayah, kalau seorang datang kepadamu menyatakan taubatnya dan memintakan perlindunganmu ........ apa yang akan ayah perbuat? 158. HAJI JAMIL : Aku doakan agar ia diterima taubatnya oleh Allah SWT. Aku tidak punya hak untuk melindungi orang yang telah banyak dosa. 159. ZULAECHA : Ayah, nabipun tak pernah membunuh orang yang telah mencoba akan membunuhnya. 160. HAJI JAMIL : Aku bukan nabi! 161. ZULAECHA : Tapi kita wajib mengikuti sunnah nabi! Bukankah begitu, Ayah? 162. HAJI JAMIL : Anakku, kau mengajari ayahmu, Nak? Tahukah engkau, siapa abangmu itu? Dosa apa yang telah diperbuatnya? 163. ZULAECHA : Aku tahu, Yah! 164. HAJI JAMIL : Mengapa kau membelanya? 165. ZULAECHA : Karena dia abangku. Tanpa dia aku akan sendirian. 166. HAJI JAMIL : Kita hidup bersama amal kita, anakku. Kita hidup bersama budi kita. Beramallah, berbudiluhurlah, berbuatbaiklah. Dan engkau tidak akan kehabisan saudara. Kau akan merasakan bahwa sesungguhnya kemanusiaan adalah satu keluarga. Kemanusiaan adalah satu darah, satu urat, satu cita-cita. 167. ZULAECHA : Ayah, ............... Berilah Bang Ahmad kesempatan untuk menebus dosanya, dengan amal saleh. 168. HAJI JAMIL : Kesempatan itu telah disia-siakan. Bukan aku yang harus memberi kesempatan seperti itu kepadanya. Tetapi, apakah perjuangan yang meminta korban harta dan jiwa ini, relaa memberi kesempatan bagi hidup seorang serti dia? 169. ZULAECHA : (mengeluh) Oh, ayah, setiap kita pernah bersalah, mengapa tak ada ampun bagi dia? 170. HAJI JAMIL : (cemas) Tapi, tidak setiap kita telah membakar pesantrennya sendiri, Zulaecha! 171. ZULAECHA : (memandang tajam ayahnya) Tidak! Dia tidak membakarnya.......... oh, ayah, aku tahu apa yang diperbuatnya, (mendesak) dia tidak membakarnya .... aku tahu benar, dia tidak membakarnya .... aku tahu benar, mengertilah, Ayah! 172. HAJI JAMIL : Tapi dia telah menunjukkan tempat persembunyian prajurit gerilya itu! Dia yang menjadi penyebab kehancuran ini. 173. ZULAECHA : Mungkin dia tidak rela, sebuah pesantren dijadikan tempat persembunyian prajurit gerilya. 174. HAJI JAMIL : Tidak rela? Pikiran apa itu? Tidakkah ia tahu bahwa di dalam pesantren itu aku mengajarkan murid-muridku, dan apa yang kuajarkan kepada mereka? Aku ajarkan kecintaan kepada agama, kecintaan kepada tanah air, dan kecintaan kepada bangsa. Tidakkah ia tahu, di dalam pesantren itulah aku menyiapkan pemuda-pemuda yang jiwanya ditempa kepercayaan tauhid, yang mewajibkan kita bertahan, bersatu, dan bila diserang wajib kita balas serangan itu, oleh karena Islam tidak rela dijajah siapapun. 175. ZULAECHA : (terdiam sejurus) Ayah, masih ingatkah ayah tatkala ibu tewas, tubuh itu hancur oleh peluru. 176. HAJI JAMIL : Itu bukan salah siapa-siapa. Kematian ibumu, salahnya ibumu sendiri. 177. ZULAECHA : Tapi, siapakah yang menewaskan ibu, ayah? Siapakah yang menembaknya, ayah? 178. HAJI JAMIL : Sudah kuperingatkan supaya ibumu jangan lari, tatkala kita terkepung musuh, sebab hal itu bisa menunjukkan tempat persembunyian prajurit kita. 179. ZULAECHA : (mendesak terus) Tapi, siapa yang menembak? Aku ingin jawaban ayah. Siapa yang menembak? 180. HAJI JAMIL : Ibumu tidak dapat menguasai ketenangan jiwanya dan lari. 181. ZULAECHA : Dan kemudian serentetan tembakan, dan ibu jatuh, rubuh tak bangun-bangun lagi. (nada keras) Peluru siapakah yang merubuhkannya? Peluru siapa? 182. HAJI JAMIL : (tegang menahan perasaan) Peluru Marjoso! 183. ZULAECHA : Ya. Peluru dari murid yang paling ayah kasihi, lebih dari mengasihi anaknya sendiri. 184. HAJI JAMIL : Tapi itu adalah hak Marjoso untuk berbuat begitu, apa artinya satu jiwa bagi beribu-ribu jiwa yang dalam tanggungannya. 185. ZULAECHA : Namun dia adalah penyebab kematian ibu. Orang itu masih ayah lindungi juga, ayah beri tempat persembunyian di pesantren. Dapatkah abang disalahkan, kalau sejak saat itu dia mendendam? Karena dendam itulah dia menunjukkan tempat persembunyian Marjoso, tapi pesantren itu terbakar semuanya. Belandalah yang membakarnya, bukan Ahmad. Dapatkah Bang Ahmad disalahkan? Karena dendam sudah menutupi seluruh kesadarannya. Sadarlah, ayah! 186. HAJI JAMIL : (mengeluh) Begitu banyak korban telah jatuh ...... 187. ZULAECHA : Tapi apakah ia sengaja memusuhi perjuangan, atau hanya memburu musuh pribadinya karena dia butuhkan, dan dia butakan dendam, ia hanya akan melepaskan sebutir peluru pada dada pembunuh ibunya, tapi malang, Bang Ahmad tertangkap, dan kini dia harus mati sebelum tuntutannya terpenuhi. Salahkah dia kalau begitu mencintai ibunya? (menyerang terus) Ayah, mintalah kebebasan baginya. Marjoso adalah murid ayah. Pergunakan pengaruh ayah untuk kebebasan anakmu Ahmad. Dia tidak bersalah, satu-satunya kesalahan dia adalah terlalu cinta kepada ibunya. 188. HAJI JAMIL : (komat-kamit sendiri) Dapatkah ..... Dapatkah aku berbuat begitu? 189. ZULAECHA : Ayah harus berbuat begitu. 190. HAJI JAMIL : (marah) Mengapa aku harus berbuat begitu, Zulaecha? 191. ZULAECHA : Karena dia adalah anakmu. 192. HAJI JAMIL : Hanya karena dia anakku? 193. ZULAECHA : Karena dia kini menderita, Ayah! 194. HAJI JAMIL : Bagaimana dengan korban-korban yang telah tewas lantaran dia? Bisakah mereka mengijinkan saya? 195. ZULAECHA : Ini semata-mata korban, Ayah. 196. HAJI JAMIL : Kita semua adalah korban. Korban dari keserakahan suatu bangsa yang ingin menjajah dan mengisap. Justru itu kita berjuang, menghancurkan mereka, kita berjuang agar bumi kita yang kaya-raya ini tidak menjadi tempat berlaganya serigala-serigala lapar yang menamakan dirinya manusia. Zulaecha, mengapa kau bicara tentang korban? (Zulaecha akan bicara tetapi Haji Jamil segera menggerakkan tangannya) Jangan sela aku dulu! 197. ZULAECHA : (mulai berbisik) Namun Ayah, .............. Ayah… 198. HAJI JAMIL : (mengangkat suaranya) Jangan kau perlemah hatiku. Tidak! Aku serahkan anak laki-lakiku satu-satunya untuk revolusi, atau sebagai pahlawan, atau sebagai pengkhianat, namun........aku serahkan dia. 199. MARJOSO : (masuk dengan tenang) Yah, dia boleh mati sebagai pengkhianat atau panglawan, sebab revolusi hanya mengenal dua ini, pahlawan revolusi atau pengkhianat revolusi. Zulaecha! Engkau tidak boleh membawa persoalan kematian ibumu, dalam persoalan abangmu. Revolusi tidak mengenal arti korban perseorangan, revolusi tidak mengenal siapa bapak, ibu atau anak. Revolusi hanya mengenal pengkhianat revolusi atau pahlawan revolusi. 200. ZULAECHA : (tak terkendalikan lagi, marahnya memuncak) Kau pembunuh! Pembunuh! Engkau membunuh ibuku! Dan kini kau akan membunuh abangku, dua orang yang paling kucintai. Tapi tunggu, Marjoso! Ibu masih mempunyai anak satu orang lagi. 201. HAJI JAMIL : (mengatasi anaknya) Zulaecha, engkau akan menjadi pengkhianat seperti abangmu? 202. ZULAECHA : (tersedu-sedu) Aku tak rela, Ayah ........Aku tak rela. 203. HAJI JAMIL : (menenangkan) ............. Diamlah, Anakku, ........ Diamlah. 204. MARJOSO : (penuh perasaan) Apalah artinya korban satu atau dua jiwa yang kita cintai untuk perjuangan suci ini? 205. HAJI JAMIL : Marjoso, maafkan adikmu, Nak! 206. ZULAECHA : (bangkit dari isakannya dan mengancam) Tidak! Aku tidak perlu meminta ampun kepada pembunuh. 207. MARJOSO : (memandang jauh ke depan) Zulaecha, perlukah aku bangga-banggakan korban-korban untuk tanah air ini? Perlukah aku katakan bahwa tak lebih dari satu bulan yang lalu aku juga mengalami kesedihan yang dalam, kedua orang tuaku dua-duanya ditangkap Belanda, dan meninggal dalam penjara. 208. HAJI JAMIL : Marjoso! Benar, Nak? 209. MARJOSO : (tak bergerak) Zulaecha, kalau engkau menuntut kematian ibumu lantaran perbuatanku, sesungguhnya telah aku penuhi permintaan itu. Aku berikan arwah ibuku untuk arwah ibumu, karena abangmu jua yang menyebabkan kematian mereka, dia yang telah menyebabkan aku menjadi sebatang kara, tetapi perlukah aku katakan itu semua? Namun aku telah relakan ................. kedua orang tuaku. Seperti aku telah relakan diriku untuk revolusi besar ini. Aku memohon, semoga darah mereka yang mengalir akan mempercepat datangnya fajar kemenangan yang diharap-harapkan tujug puluh juta bangsa. 210. HAJI JAMIL : Jangan kau lemahkan hatimu, anakku, jangan kau lemahkan. 211. MARJOSO : Kini Pak Kyai satu-satunya orang tuaku. 212. HAJI JAMIL : Sejak dulu kau adalah anakku. 213. ZULAECHA : (menahan isaknya, mengangkat kepala, berdiri akan berbicara tetapi kata-katanya tak dapat keluar kemudian lari meninggalkan tempat itu. Haji Jamil tak sempat bicara. Marjoso menarik nafas) 214. MARJOSO : Kini tiba saatnya Pak Kyai, tibalah saatnya bertemu dengan Ahmad. 215. HAJI JAMIL : (berat menjawab) Baik, bawalah kemari. 216. MARJOSO : (bergerak ke mejanya dan diam sejenak, kemudian memanggil seorang prajurit) Sersan! Bawa tawanan itu kemari. 217. SERSAN : (datang menghadap) Siap, Pak! 218. MARJOSO : Bawa tawanan itu kemari! 219. SERSAN : Siap Pak! (kemudian pergi) 220. MARJOSO : Kiranya Pak Kyai dapat memberinya nasihat terakhir semoga ia menginsyafi kesalahan-kesalahannya. 221. SERSAN : (masuk membawa Ahmad menghadap Marjoso. Ahmad terkejut melihat ayahnya di situ, kemudian membuang muka) 222. HAJI JAMIL : (MENATAP WAJAH ANAKNYA) KETIKA PESANTREN ITU DALAM KOBARAN API, AKU MELIHAT JIWA MERINTIH. JIWA-JIWA YANG IGIN MENUNTUT BALAS, NAMUN TAK BERDAYA LAGI. PADA SAAT ITU AKU MEMOHON KEPADA TUHAN YME ...... ” YA, ALLAH, BAWALAH DIA YANG TELAH MEMBAKAR RUMAH INI TEMPAT HAMBA-MU MENGAGUNGKAN NAMA-MU, DAN MEMENUHI PANGGILAN-MU, BAWALAH DIA KEPADAKU AGAR AKU BISA MENYAMPAIKAN HASRAT MEREKA YANG TAK KUASA LAGI MENGANGKAT TANGAN UNTUK MENUNTUT KEADILAN, DAN KINI TUHAN TELAH MENGABULKAN. DIA ... DIA ADALAH ANAKKU SENDIRI, DARAH DAGINGKU SENDIRI. (SEJURUS DITATAPNYA ANAKNYA) AHMAD! BERLUTUT KAU! BERLUTUT! MINTALAH AMPUN KEPADA BUMI TANAH-AIRMU, TANAH AIR YANG TELAH KAU KHIANATI. 223. AHMAD : (TAK BERPERASAAN) AKU TIDAK MENGKHIANATI TANAH AIRKU. 224. HAJI JAMIL : TANGANMU BERLUMUR DARAH, DAN DARAH ITU ADALAH DARAH KAWAN-KAWANMU SENDIRI, AHMAD. 225. AHMAD : AKU TIDAK PERNAH MEMBUNH SEORANGPUN. 226. MARJOSO : YA, MEMANG KAU TAK PERNAH MEMBUNUH SEORANGPUN DENGAN TANGANMU. TAPI KHIANATMU! JIWA BUDAKMU! .... JIWA BUDAKMU! 227. AHMAD : KENAPA AKU TIDAK BOLEH MEMBUNUH MUSUHKU? KENAPA AKU TIDAK BOLEH MEMBUNUH, MEMBALAS DENDAM KEMATIAN IBUKU? APAKAH HARGANYA AKU SEBAGAI ANAK LAKI-LAKI, KALAU PEMBUNUH IBUKU DIBIARKAN SAJA TANPA SUATU PEMBALASAN? 228. MARJOSO : (BANGKIT MEMUKUL MEJA) KAU TAK BERHAK MEMAKAI ALASAN ITU UNTUK MEMPERSUCI DIRIMU! 229. AHMAD : (MELUDAH BENCI) DI MATAKU ENGKAU TAK BERHARGA SEDIKITPUN, MARJOSO. 230. HAJI JAMIL : AHMAD! 231. AHMAD : AYAH AKAN MEMBELA DIA? 232. HAJI JAMIL : YA. AYAH AKAN MEMBELA DIA, LANTARAN DIA BENAR. 233. MARJOSO : ENGKAU SELALAU MEMBAWA SOAL IBUMU, BAIK, AHMAD! SIAPA YANG TELAH MENUNJUKKAN TEMPAT PERSEMBUNYIAN KEDUA ORANG TUAKU? SIAPA YANG TELAH MENYURUH MEREKA UNTUK MENJEBAKKU? JAWAB! SIAPA? 234. AHMAD : (TEGAS) AKU! 235. HAJI JAMIL : OH, AHMAD, DI MANA LAGI HATIMU? 236. MARJOSO : TAPI KAU TAK BERHASIL MENJEBAK AKU, NAMUN KEDUA ORANG TUAKU DITANGKAP DAN MEREKA TAK ADA LAGI KINI. MEREKA MANGKAT AKIBAT SIKSAAN-SIKSAAN YANG KEJI. 237. AHMAD : (GEMETAR) TIDAK! ............... TIDAK! .............. 238. MARJOSO : MENGAPA TIDAK? MEREKA ADALAH KORBANMU. SEKARANG APA MAUMU? KAU MEMBURU AKU? KORBAN BERJATUHAN KARENA DENDAMMU, KINI KAU BERHADAPAN DENGAN AKU (MENGAMBIL PISTOL DARI MEJA) INI ADA SEPUCUK PISTOL UNTUK KAU PAKAI MENGHABISI MUSUHMU. TERIMALAH! (MELEMPAR PISTOL ITU KE HADAPAN AHMAD, DAN AHMAD MENERIMANYA, KEMUDIAN MARJOSO MENCABUT PISTOLNYA SENDIRI) MARILAH KITA HABISI DENDAM DI ANTARA KIA. (AHMAD DIAM TERPAKU, PISTOL DI TANGAN BELUM DIAPA-APAKAN, MARJOSO BERGERAK MENJAUH. HAJI JAMIL TERPAKU TAPI TAK SEGERA MENENGAHI KEDUANYA) 239. HAJI JAMIL : JANGAN! JANGAN KALIAN SALING MEMBUNUH. KALIAN BERSAUDARA, KALIAN ADALAH ANAKKU. 240. MARJOSO : KALAU AKU HARUS MATI LANTARAN PELURUNYA, PAK KYAI, AKU HARUS IKHLAS MATI UNTUK MEYAKINKAN DIA DAN ORANG-ORANG SEPERTI DIA, BAHWA DALAM PERJUANGAN INI TIDAK HARUS DIPERHITUNGKAN UNTUNG RUGI PERSEORANGAN. AKU IKHLAS MATI UNTUK MEYAKINKAN SEMUA ORANG, BAHWA SEBAB YANG AKAN MENGGAGALKAN REVOLUSI INI IALAH, MANAKALA ORANG MASIH TIDAK MELEBURKAN DIRINYA SENDIRI KE DALAM LEBURAN YANG TIDAK LAGI MENGENAL SIAPA AYAH, SIAPA IBU, DAN SIAPA ITU SAUDARA. 241. HAJI JAMIL : MARJOSO, ANAKKU, KAU TIDAK BOLEH MENGORBANKAN DIRI UNTUK MANUSIA YANG BEGINI RENDAHNYA. 242. MARJOSO : KORBAN TELAH CUKUP BANYAK, KYAI. SEORANG DEMI SEORANG KAWAN-KAWAN GUGUR LANTARAN SOAL DENDAM-MENDENDAM INI. AKU MERASA IKUT BERSALAH JUGA KYAI (KETERANGAN INI MELIPUTI KETIGA ORANG ITU) (AHMAD TAMPAK TAK DAPAT MENGUASAI DIRINYA, MARJOSO MENGANGKAT PISTOLNYA, HAJI JAMIL MEMALINGKAN MUKA, SEDIH, DAN PUTUS ASA DALAM KECEMASAN) Angkat pistolmu agar kau mati dengan tidak membawa dendam ke dlam kubur. Aku akan menghitung sampai tiga kali, maka tembaklah aku dan aku akan menembakmu. (Ahmad tidak menjawab, ia mengangkat pistolnya tapi jelas tangannya mulai gemetar. Marjoso menatapinya dengan tenang. Jarak mereka kira-kira empat langkah dipisahkan oleh meja, Haji Jamil berdiri di tengah-tengahnya) 243. HAJI JAMIL : NAH, MULAILAH NEMBAK KALIAN BERDUA. MULAILAH MENEMBAK AHMAD, MULAILAH MENEMBAK MARJOSO! (KEDUA-DUANYA TAK BEEGERAK, MULAI MENURUNKAN PISTOLNYA. MARJOSO TERPAKU DIAM, KERINGAT MENGALIR DI DAHINYA) KALIAN ORANG-ORANG YANG DIKUASAI DENDAM DAN NAFSU. 244. AHMAD : (SEKONYONG-KONYONG BERSERU DAN BERLUTUT, MENJATUHKAN BADANNYA DI MEJA DAN MENANGIS. AIR MATA MULAI MENGUMPUL, HAJI JAMIL MENGHAMPIRI DAN KEMUDIAN KEDUA ORANG ITU, AYAH DAN ANAK SALING BERPELUKAN DENGAN MESRANYA) AYAH! ..... 245. HAJI JAMIL : AHMAD ............... OH, AHMAD ......... KAU ANAKKU! KAU ANAKKU! 246. AHMAD : (TAK BISA MENGUASAI DIRINYA) AYAH, MENGAPA AKU HARUS BEGINI? 247. HAJI JAMIL : (MENGGELETAR) AKU SERAHKAN ENGKAU KEPADA TUHAN. SEMOGA TUHAN MENGAMPUNI ENGKAU, AKU AMPUNI DOSAMU KEPADAKU, TETAPI DOSAMU TERHADAP ORANG LAIN PERTANGGUNGJAWABKAN SENDIRI TERHADAP TUHANMU. ENGKAU ANAKKU. MATILAH ENGKAU SEBAGAI ANAKKU! SEBAGAI SEORANG MUSLIM YANG MENGERTI ARTI TAUBAT, JANGANLAH ENGKAU MENANGIS KARENA SEDIH AKAN BERPISAH DENGAN AKU, TETAPI MENANGISLAH KARENA TELAH TERLALU BANYAK BERBUAT DOSA! 248. AHMAD : (DENGAN PENUH KERAGUAN DAN PENYESALAN YANG DALAM) AYAH, ....... DI MANAKAH ADIKKU ZULAECHA? 249. HAJI JAMIL : DIA DALAM KEADAAN SEHAT DAN BAIK-BAIK SAJA. 250. AHMAD : AYAH, SAMPAIKAN SALAMKU PADANYA ... AGAR IA TETAP MENJADI PATRIOT BANGSA DAN PEMBELA TANAH AIR MENGIKUTI JEJAK AYAHNYA. 251. MARJOSO : AHMAD, SAATMU SUDAH TIBA! 252. AHMAD : (TERSENTAK SEKETIKA TERTEGUN MEMANDANG AYAHNYA DAN MARJOSO. DENGAN BERAT LALU MELANGKAHKAN KAKI MENUJU KELUAR DIIKUTI OLEH MARJOSO DAN SERSAN) 253. HAJI JAMIL : (MENGIKUTI DENGAN PANDANGAN PENUH ARTI, KEMUDIAN BEBERAPA SAAT TERDENGAR TEMBAKAN TIGA KALI, PERTANDA TAMATNYA RIWAYAT AHMAD, KEMUDIAN HAJI JAMIL MELANGKAH KE TENGAH PANGGUNG DENGAN PANDANGAN YANG DALAM DAN JAUH SEKALI) .......... TUHANKU, INILAH PERTANDA DATANGNYA FAJAR KEMENANGAN. KEMERDEKAAN BANGSA DAN NEGARAKU. SELESAI

Naskah Drama : DEWI MASYITOH

DEWI MASYITOH Karya: Puthut Buchori 001.Lagu Para Pekerja Ya Allah yang esa, zat yang bijaksana kami kaum pekerja, miskin papa selalu dihina dan kerja paksa namun kami tetap mengagungkan nama-Mu Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar kami bekerja atas nama-Mu Bismillah, Bismilllah, Bismillah kami bekerja dijalan-Mu selalu Alhamdulillah kami masih mendapat Anugerah sehat-Mu Ya Allah yang Khaliq, yang maha penyayang segala puji bagi-Mu kami makhluk dan akan hanya menyembah-Mu dalam sakit, dalam gembiraku DI TENGAH KAUM PEKERJA YANG SEDANG MENJALANI KERJA PAKSA, MASYITOH DAN PUTRI FIRAUN MENYAKSIKAN PARA PEKERJA ITU DICAMBUK, DISIKSA UNTUK BEKERJA PAKSA DEMI CITA-CITA DUNIAWI RAJA FIRAUN. 002.MASYITOH : Lihatlah putri, para pekerja itu, dicambuk, ditendang bagai binatang-binatang, hanya demi cita-cita duniawi yang hanya sesaat. 003.PUTRI FIRAUN : Apa artinya ibu Masyitoh ? 004.MASYITOH : Artinya segala sesuatu yang ada didunia ini hanya sesaat belaka, hidup di dunia hanya sementara. Kelak setelah kita mati, baru akan kekal di akhirat. 005.PUTRI FIRAUN : Akhirat itu apa ? 006.MASYITOH : Adalah alam setelah kita mengalami penantian di alam kubur. Alam setelah kita dihisab, dihitung amal kebaikan kita, dan pebuatan-perbuatan dosa kita. 007.PUTRI FIRAUN : Apakah para budak, hamba-hamba ayahanda Firaun itu juga ikut akan dihitung. 008.MASYITOH : semua, semua akan mendapat perlakuan yang sama. 009.PUTRI FIRAUN : Sama ? 010.MASYITOH : Ya sama, semua orang adalah sama di hadapan Allah. 011.PUTRI FIRAUN : Allah ? PARA PEKERJA PERLAHAN-LAHAN MENINGGALKAN PANGGUNG. TINGGAL MASYITOH DAN PUTRI FIRAUN. 012.PUTRI FIRAUN : Allah ? Allah itu siapa sih ibu ? 013.MASYITOH : Allah adalah… 014.PUTRI FIRAUN : Siapa ibu ? 015.MASYITOH : ( MENYANYI SAMBIL MENYISIR RAMBUT PUTRI FIRAUN) Allah adalah penguasa semesta pencipta langit dan bumi penguasa siang dan malam yang menentukan hidup dan mati seseorang Allah adalah zat yang harus disembah hanya kepada Dia kita patut menyerah hanya oleh Dia kita bisa kalah hanya Allah tujuan kita beribadah 016.PUTRI FIRAUN : Oh begitu ? Jadi Allah itu adalah nama lain dari ayahanda Firaun? SISIR MASYITOH TIBA-TIBA TERLEPAS DARI TANGAN DAN JATUH KE LANTAI. 017.MASYITOH : Inalillahi wa ina ilaihi roji’un (SAMBIL MEMUNGUT SISIR YANG JATUH) Bukan… 018.PUTRI FIRAUN : Bukan ? 019.MASYITOH : Ya, bukan! Ayahandamu Firaun bukanlah Allah, karena tidak ada sekutu bagi Allah, Allah itu esa, tunggal. Sedangkan ayahandamu Firaun adalah manusia biasa, seperti hanya kita, di depan Allah sama derajatnya dengan kaum pekerja. 020.PUTRI FIRAUN : Ibu jangan sembrono, nanti kalau ayahanda mendengar, beliau pasti akan murka. Apa ibu tidak takut. 021.MASYITOH : Yang patut di takuti manusia hanyalah Allah, dan bukan siapa-siapa. 022.PUTRI FIRAUN : (MARAH & MEMBENTAK) Ibu ! 023.MASYITOH : Ibu telah terlanjur berbicara nak, dan ibu memang harus berbicara, karena memang itulah kebenarannya. 024.PUTRI FIRAUN : Tidak ! Aku akan melapor ayah ! (PUTRI FIRAUN LARI KELUAR PANGGGUNG UNTUK MELAPOR AYAHNYA: RAJA FIRAUN) Ayah !…. TIBA-TIBA BEBERAPA ORANG PASUKAN PENGAWAL FIRAUN MENYERBU MASUK RUANGAN YANG DIPAKAI MASYITOH DAN PUTRI FIRAUN. 025.PENGAWAL 1 : Mana Pemberontaknya ? 026.PENGAWAL 2 : Di mana Penghasutnya ? 027.PENGAWAL 3 : Di mana penyusup yang telah memnggangu tuan putri ? 028.PENGAWAL 1 : Ibu Masyitoh. Tahukah kamu orang yang mengganggu tuan putri? 029.PENGAWAL 3 : Katanya penyusup itu ada di ruangan ini ! 030.PENGAWAL 2 : Tunjukkan bu, biar aku cincang dan aku hajar dia ! 031.MASYITOH : (BERBICARA RAGU RAGU) Kalau yang dimaksud sebagai penghasut… adalah orang… yang telah menyamakan Baginda raja Firaun… dengan orang lain…. (TEGAS) Akulah orangnya. 032.PR PENGAWAL : Apa ? 033. MASYITOH : Akulah orang yang tidak percaya kalau Firaun itu adalah tuhan ! FIRAUN DAN PUTRINYA MUNCUL DIIRING DAYANG-DAYANG. 034.FIRAUN : Kurang ajar, keparat ! (Lagu Firaun) Hai budak hina dina budak yang tak tahu di untung kuberi posisi yang enak di kerajaanku kupenuhi banyak kebutuhan hidupmu bahkan aku layakkan kemanusiaanmu tetapi kau malah tidak percaya aku penentu sederajatmu Hai budak keparat beraninya kau menghina rajamu kurang ajarnya kamu menghina tuhanmu ! 035.MASYITOH : Karena engkau memang bukan tuhanku. 036.FIRAUN : Hei Masyitoh ! engkau kurang ajar, beraninya kau berkata seperti itu ! Akan kuhukum kamu ! 037.MASYITOH : Aku tidak takut hukumanmu, itu hanya hukum dunia, yang aku takut adalah hukuman Allah, hukuman akhirat ! 038.FIRAUN : Sudah tinggi pitamku, masih saja engkau berani membanyol ! 039.PUTRI FIRAUN : Ibu, perbaikilah kata-kata ibu, sebelum ayahanda benar-benar murka ! 040.MASYITOH : Putri, ini bukanlah sekedar kata-kata, tetapi ini adalah suatu kebenaran yang harus ditegakkan. 041.PUTRI FIRAUN : Ibu, sudahlah, akhiri pertengkaran ini, aku masih dapat untuk membujuk ayah, bila ibu mau tunduk dan patuh pada perintah ayah. 042.MASYITOH : Tidak putri, ini sudah keputusan ibu, ini sudah pilihan ibu. 043.FIRAUN : Pilihanmu adalah siksa, dan akan aku kabulkan pilihanmu. Pengawal !! Siapkan tungku raksasa !! Seret juga keluarga Masyitoh untuk dihukum. 044.PUTRI FIRAUN : Ayah !! kenapa harus seberat itu. (KEPADA MASYITOH) Ibu maafkan aku ibu, aku tak tahu kalau akan sampai begini jadinya. 045.FIRAUN : Sudah ! diamlah Putri ! ini akan menjadi pelajaran semua orang, bahwa siapa saja yang membangkan akan mendapat hukuman ! (KEPADA ORANG-ORANG) Rakyatku, menghadaplah, aku akan memberi peringatan kepada kalian. BEBERAPA ORANG BERDUYUN-DUYUN MENUJU TEMPAT HUKUMAN. 046.FIRAUN : (LAGU FIRAUN) Rakyatku semua, lihatlah contoh pengkhianatan, saksikan contoh pengingkaran. Budakku yang bernama masyitoh telah membangkang, tidak mengakui kalau aku adalah tuhan, yang menguasai kalian, yang menentukan hidup dan mati kalian. Dan bagi siapa saja yang mengikuti jejak masyitoh, akan bernasib sama, mampus di tungku raksasa. 047.RAKYAT : Ampun tuanku…. 048.FIRAUN : Bagaimana masyitoh ? apakah kamu masih keras kepala ? Dengan disaksikan rakyatku, aku masih akan memberi kesempatan kepadamu ? 049.PUTRI FIRAUN : Ayolah ibu, minta ampun kepada ayahanda Firaun. 050.MASYITOH : Tidak ! keputusanku sudah bulat, pilihanku sudah benar. Tuhanku hanya Allah, tempat aku menyembah, tempat aku berserah. Tidak ada tuhan lain selain Allah. 051.FIRAUN : Allahmu itu siapa, kok begitu hebatnya mau melawan aku, kok berani memusuhiku. 052.MASYITOH : (LAGU MASYITOH) Allah adalah yang menciptakan kita, yang mencipta bumi tempat kita berpijak, yang mengganti siang dan malam, dan yang menentukan hidup dan mati kita. 053.FIRAUN : Tidak bisa ! akulah yang menentukan hidup dan mati seseorang, aku yang memberi wewenang, seseorang itu boleh hidup atau harus mati. Seperti nasibmu sebentar lagi, kalau engkau tetap membangkang, maka kuputuskan engkau mati hari ini. 054,MASYITOH : Astagfirullahaladzim. Engkau sudah benar-benar keterlaluan Firaun, engkau telah dengan sombong menyekutukan Allah. 055.FIRAUN : Mana Allahmu itu, suruh kemari, akan kutantang dia. 056.MASYITOH : Allah tidak tampak di sini, Namun ada di sini, sedekat cinta kita kepadaNYA, sedekat hati kita begitu kita serahkan hidup kepadaNYA. Allah itu dekat ketika kita menginginkan Beliau dekat, dan jauh ketika kita menginginkan jauh. 057.FIRAUN : Jauh dekat, jauh dekat, omong kosong. 058.MASYITOH : Karena memang itu kenyataannya. 059,FIRAUN : Kenyataan apa ? 060.MASYITOH : Kenyataan bahwa aku tidak takut kepada orang yang menyekutukan Allah, karena Allah sangat dekat denganku saat ini. 061.FIRAUN : Dan kau bersama Allahmu itu tidak takut ketika aku godog di atas tungku raksasa ? 062.MASYITOH : Insya Allah, Tidak ! 063.FIRAUN : Juga engkau tidak takut ketika anak-anakmu, suamimu, turut aku godog sampai melepuh ditungku raksasa ? 064.MASYITOH : Insya Allah, Tidak ! PENGAWAL MEMBAWA MASUK ANAK DAN SUAMI MASYITOH. 065.SUAMI : Alhamdulillah. Alhamdulillahirrobbil’alamin, engkau masih tabah pada pendirianmu, engkau masih mencintai Allah. 066.FIRAUN : Nah sekarang sudah lengkap, dan akan lengkap pula penderitaanmu Masyitoh. 067.MASYITOH : Aku bahagia. 068.FIRAUN : Engkau tidak takut sedikitpun ketika anak-anakmu ini aku jadikan sop tanpa bumbu ? 089.ANAK : Jangan takut ibunda, anakmu juga rela mati untuk menegakkan ajaran Allah. 090.MASYITOH : Anakku, Alhamdulillahhirrobbil’alamin. 091.ANAK : Aku rela berkorban ibu, aku ikhlas, aku tidak takut. 092.FIRAUN : Husy ! cerigis ! 093.ANAK : Aku tidak takut padamu firaun, sebab engkau raja yang lalim. yang kutakuti hanyalah Allah. 094.FIRAUN : (SEMAKIN MARAH) Kurang ajar, diam ! 095.PUTRI FIRAUN : Ayah sabar. (KEPADA MASYITOH) ibu Masyitoh sadarlah ibu.. 096.MASYITOH : Maafkan kami putri, untuk masalah ini kami tak bisa tinggal diam.. 097.FIRAUN : (SEMAKIN MARAH) Diam kataku !!! SUATU KEJUTAN, BAYI MASYITOH BISA BICARA. 098.BAYI : Kita jangan bisa diam ibu, kita harus terus menyerukan asma Allah, kita harus terus menerus menegakkan ajaran Allah. 099.PENGAWAL 1 : Bayi bisa bicara ? 100.ORANG 1 : Inikah tanda-tanda kebenaran masyitoh. 101.ORANG 2 : Inikah keajaiban Allah. 102.ORANG 3 : Ya Allah, engkau maha besar. 103.ORANG 4 : Sungguh-sungguh mukjizat. 104.FIRAUN : Jangan percaya, itu sihir ! 105.BAYI : Ini bukanlah sihir, ini kebenaran. kalau engkau memang ingin menghukum kami karena kebenaran, hukumlah kami, kami akan tetap pada pendirian. 106.MASYITOH : Alhamdulillah, anakku… 107.BAYI : Kami hanya mengakui bahwa Allah Tuhan kami, tidak ada yang lain yang akan kami sembah selain Allah. Kebenaran akan selalu menang. meskipun kami kalah di duniamu, tetapi kami akan memenangkan kebenaran ini di dunia Allah, di akhirat. Ya Allah kami mohon restu-Mu, karuniailah rahmat dan hidayah-Mu, amin. 108.KEL.MASYITOH : Amin, Ya robbal ‘alamin, semoga Allah merestui. 109.FIRAUN : Bakar mereka sekarang juga ! SEMENTARA ORANG-ORANG TERTEGUN MENYAKSIKAN KEBENARAN, PARA PENGAWAL FIRAUN MEMASUKKAN MASYITOH DAN KELUARGNYA DI ATAS TUNGGU RAKSASA YANG APINYA MENYALA-NYALA. MASYITOH DAN KELUARGA MENGHADAPI KEMATIAN ITU DENGAN SENYUM. (LAGU ORANG ORANG) Ya Allah, ya Tuhan segala makhluk Api itu telah berkobar menyala Siap menerkam yang mendekatnya Siap melahap siapa saja Namun karna keagunganMu Ibu Masyitoh tersenyum bangga Namun karna ridhoMu Keluarga masyito tabah menghadapi cobaan in Ya Allah, Ya Tuhan yang maha di raja Sejukkanlah hati masyitoh Yang terbakar kobar kemarahan firaun Ya Allah yang maha sejuk, sejukkanlah segala ummat… FIRAUN TERDUDUK DIAM. 110.PUTRI FIRAUN : Ibu masyitoh !! (Lagu Putri Firaun) Ibu Masyitoh yang suci kau hadapi kematian dengan senyum kemenangan kau hadapi siksaan firaun dengan kebanggaan karena memang kebenaran yang kau yakini pilihan jalan yang kau lalui adalah jalan Ilahi jalannya yang suci kau tebar wangi surga sampai kini karna memang itulah wanginya hati dan jihadmu wanginya jiwa, karena keluhuranmu ibu masyitoh, selamat jalan surga telah menantimu Selesai. Wasslamu’alaikum wr. wb. Puthut Buchori [mementaskan naskah drama ini harus ada pemberitahuan kepada penulis] --- 04.20” * 28 mei 2003--- Tentang Puthut Buchori Nama Lengkap Puthut Buchori Ali Marsono, Kelahiran 6 September 1971. Alumni Jurusan teater ISI Yogyakarta, Selain Menjadi Direktur Artistik Bandungbondowoso ready on stage, Juga direktur Artistik di Teater MASA Jokjakarta, Perfomer Artist Post Punk Perfomance, dan bekerja secara freelance pada beberapa kelompok kesenian. Saat ini aktif menjadi konseptor dan pemimpin redaksi Underground Buletin Sastra ASK [Ajar Sastra Kulonprogo]. Berteater sejak kelas satu SMP di teater JIWA Yogyakarta pimpinan Agung Waskito ER. Telah Berproses teater lebih dari 100 repertoar, baik sebagai sutradara, pemain, tata artistik maupun tata lampu. Pernah membina kelompok teater, antara lain : Teater MAN Yogyakarta 1, Teater Puspanegara SMUN 5 Yogyakarta, SMUN 1 Depok Sleman Yogyakarta, Teater Cassello SMUN 1 Wates Kulonprogo Yogyakarta, Teater Thinthing Wates Kulonprogo Yogyakarta, SMU Kolese GONZAGA Jakarta (event tertentu), Kolese LOYOLA Semarang Jateng (event Tertentu). Teater Sangkar UPN Veteran Yogyakarta, Teater RAI ISI Yogyakarta, Teater DOEA KATA ISI Yogyakarta, dan saat ini sedang merintis kelompok teater di Wates Kulonprogo Yogyakarta. Tinggal di Gowongan Kidul Jt3/412 Yogyakarta, HP. 08179417613, e-mail:masa_teater@yahoo.com

Naskah Drama : AYAHKU PULANG

”AYAHKU PULANG”
Penulis Naskah : Usmar Ismail

SINOPSIS CERITA
Drama ini mengisahkan tentang konflik keluarga dimana Raden Salah selaku kepala keluarga pergi meninggalkan tiga orang anak yaitu Gunarto, Maimun dan Mintarsih serta menceraikan Tina istrinya dengan keadaan ekonomi yang susah. Gunarto merasa benci dengan ayahnya yang tidak bertanggung jawab pada keluarga, akan tetapi Tina (Sang Ibu) terus berusaha mengingatkan Gunarto agar tidak membenci Raden Saleh selaku Ayah kandungnya. Tina merupakan seorang Ibu yang luar biasa, tanpa seorang suami dia berhasil membesarkan ketiga anaknya walau dengan keadaan yang sangat sederhana.

Setelah 20 tahun kemudian, Raden Saleh (ayah) kembali pulang ke rumah dalam keadaan tua renta serta miskin, akan tetapi Gunarto masih tetap saja menyimpan rasa kebencian pada ayahnya. Gunarto merasa bahwa selama ini dia tidak memiliki seorang ayah.

Kebencian Gunarto terhadap Raden Saleh (ayah) berbanding terbalik dengan perasaan Ibu, serta adik-adiknya. Mereka masih mau menerima ayahnya untuk kembali. Akan tetapi apa daya, kebencian Gunarto menimbulkan perasaan yang berkecamuk bagi Raden Saleh (ayah). Akhirnya Raden Saleh (ayah) memilih untuk pergi meninggalkan rumah dan memutuskan untuk tidak mengusik lagi kehidupan keluarga kecilnya yang pernah dia tinggalkan.

Penokohan:
1. RADEN SALEH: Ayah.
2. T I N A: Ibu atau Isteri Raden Saleh.
3. GUNARTO: Anak laki-laki tertua Raden Saleh dan Tina.
4. MAIMUN: Adik laki-laki Gunarto atau anak kedua Raden Saleh dan Tina.
5. MINTARSIH: Adik perempuan Gunarto dan Maimun atau anak bungsu Raden Saleh dan Tina.

Tata Panggung:
Panggung menggambarkan sebuah ruangan dalam dari sebuah rumah yang sangat sederhana dengan sebuah jendela agak tua. Di kiri kanan ruangan terdapat pintu. Di sebelah kiri ruangan terdapat satu set kursi dan meja yang agak tua, disebelah kanan terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat buah kursinya, tampak cangkir teh, kue-kue dan peralatan lainnya diatas meja. Suara adzan di latar belakang menunjukkan saat berbuka puasa.

Sebelum layar diangkat sebaiknya terlebih dahulu sudah terdengar suara beduk bersahut-sahutan diiringi suara takbir beberapa kali sebagai tanda kalau esok adalah hari raya idul fitri. Suara bedug dan takbir sebaiknya terus terdengar dari mulai layar diangkat/sandiwara dimulai sampai akhir pertunjukkan ini. Ketika sandiwara dimulai/layar panggung diangkat, tampak ibu sedang duduk dikursi dekat jendela. Ekspresinya kelihatan sedih dan haru mendengar suara beduk dan takbiran yang bersahut-sahutan itu. Kemudian masuk kepanggung gunarto.

1. Gunarto: “Ibu masih berpikir lagi…”
2. I b u: “Malam Hari Raya Narto. Dengarlah suara bedug itu bersahut-sahutan.” “Pada malam hari raya seperti inilah Ayahmu pergi dengan tidak meninggalkan sepatah katapun.”
3. Gunarto: “Ayah…”
4. I b u: “Keesokan harinya Hari Raya, selesai sholat kuampun dosanya…”
5. Gunarto: “Kenapa masih Ibu ingat lagi masa lampau itu? Mengingat orang yang sudah tidak ingat lagi kepada kita?”
6. I b u: (Memandang Gunarto) “Aku merasa bahwa ia masih ingat kepada kita.”
7. Gunarto: (Bergerak ke Meja Makan) “Mintarsih kemana, Bu?”
8. I b u: “Mintarsih keluar tadi mengantarkan jahitan, Narto.”
9. Gunarto: (Heran) “Mintarsih masih juga mengambil upah jahitan, Bu?” “Bukankah seharusnya ia tidak usah lagi membanting tulang sekarang?”
10. I b u: “Biarlah Narto. Karena kalau ia sudah kawin nanti,
kepandaiannya itu tidak sia-sia nanti.”
11. Gunarto: (Bergerak Mendekati Ibu, Lalu Bicara Dengan Lembut) “Sebenarnya Ibu mau mengatakan kalau penghasilanku tidak cukup untuk membiayai makan kita sekeluarga kan, Bu?” (Diam Sejenak. Pause) “Bagaimana dengan lamaran itu, Bu?”
12. I b u: “Mintarsih nampaknya belum mau bersuami, Narto.. Tapi dari pihak orang tua anak lelaki itu terus mendesak Ibu saja..”
13. Gunarto: “Apa salahnya, Bu? Mereka uangnya banyak!”
14. I b u: “Ah… uang, Narto?”
15. Gunarto: (Sadar Karena Tadi Berbicara Salah) “Maaf Bu… bukan maksud aku mau menjual adik sendiri” (Lalu Bicara Dengan Dirinya Sendiri). “Ah… aku jadi mata duitan… yah mungkin karena hidup yang penuh penderitaan ini…”
16. I b u: (Menerawang) “Ayahmu seorang hartawan yang mempunyai tanah dan kekayaan yang sangat banyak, mewah diwaktu kami menikah dulu. Tetapi kemudian, seperti pokok yang ditiup angin kencang, buahnya gugur karena…” (Suasana Sejenak Hening, Penuh Tekanan Bathin, Suara Ibu Lemah Tertekan) “Uang Narto! Tidak Narto, tidak… aku tidak mau terkena dua kali, aku tidak mau adikmu bersuamikan seorang Hartawan, tidak… cukuplah aku saja sendiri. Biarlah ia hidup sederhana, Mintarsih mestilah bersuamikan orang yang berbudi tinggi, mesti, mesti…”
17. Gunarto: (Coba Menghibur Ibu) “Tapi kalau bisa kedua-duanya Sekaligus Bu? Ada harta ada budi.”
18. I b u:”Dimanalah dicari, Narto? Adik kau Mintarsih hanyalah seorang gadis biasa. Apalagi sekarang ini keadaan kita susah? Kita tidak punya uang dirumah? Sebentar hari lagi uang simpananku yang terakhirpun akan habis pula.”
19. Gunarto: (Diam Berfikir, Kemudian Kesal) “Semua ini adalah karena ulah Ayah! Hingga Mintarsih harus menderita pula! Sejak kecil Mintarsih sudah merasakan pahit getirnya kehidupan. Tapi kita harus mengatasi kesulitan ini, Bu! Harus! Ini kewajibanku sebagai abangnya, aku harus lebih keras lagi berusaha!” (Hening Sejenak Pause. Lalu Bicara Kepada Dirinya Sendiri) Kalau saja aku punya uang sejuta…
20. I b u: “Buat perkawinan Mintarsih, lima ratus ribu rupiah saja sudah cukup,Narto.” (Ibu Coba Tersenyum) “Sesudah Mintarsih nanti, datanglah giliranmu Narto…”
21. Gunarto: (Kaget) “Aku kawin,Bu? Belum bisa aku memikirkan kesenangan untuk diriku sendiri sekarang ini, Bu. Sebelum saudara-saudaraku senang dan Ibu ikut mengecap kebahagiaan atas jerih payahku nanti Bu.”
SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERDENGAR LEBIH KERAS SEDIKIT.
22. I b u: “Aku sudah merasa bahagia kalau kau bahagia, Narto. Karena nasibku bersuami tidak baik benar.” (Kembali Fikirannya Menerawang) “Dan kata orang bahagia itu akan turun kepada anaknya.” (Pause Lalu Terdengar Suara Bedug Takbir Lebih Keras Lagi. Ibu Mulai Bicara Lagi) “Malam hari raya sewaktu ia pergi itu, tak tahu aku apa yang mesti aku kerjakan? Tetapi…” (KEMBALI SEDIH DAN HARU)
23. Gunarto: (Tampak Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan) “Maimun lambat benar pulang hari ini, Bu?”
24. I b u: “Barangkali banyak yang harus dikerjakannya? Karena katanya mungkin bulan depan dia naik gaji.”
25. Gunarto: “Betul bu itu? Maimun memang pintar, otaknya encer. Tapi karena kita tak punya uang kita tak bisa membiayai sekolahnya lebih lanjut lagi. Tapi kalau ia mau bekerja keras, tentu ia akan menjadi orang yang berharga di masyarakat!”
26. I b u : (Agak Mengoda) “Narto… siapa gadis yang sering ku lihat bersepeda bersamamu?”
27. Gunarto: (Kaget. Gugup) “Ah…dia itu cuma teman sekerja, Bu.”
28. I b u: “Tapi Ibu rasa pantas sekali dia buat kau, Narto. Meskipun Ibu lihat dia bukanlah orang yang rendah seperti kita derajatnya. Tapi kalau kau suka…”
29. Gunarto(Memotong Bicara Ibu) “Ah… buat apa memikirkan kawin sekarang, Bu? Mungkin kalau sepuluh tahun lagi nanti kalau sudah beres.”
30. I b u: “Tapi kalau Mintarsih nanti sudah kawin, kau mesti juga Narto? Kau kan lebih tua.” (Diam Sebentar Lalu Terkenang) “Waktu Ayahmu pergi pada malam hari raya itu, ku peluk kalian anak-anakku semuanya, hilang akalku…”
31. Gunarto: “Sudahlah Bu. Buat apa mengulang kaji lama?” MASUK MAIMUN DIA TAMPAK KELIHATAN SENANG.
32. Maimun: (Setelah Meletakkan Tas Kerjanya Lalu Bicara) ”Lama menunggu, Bu? Bang?”
33. Gunarto: “Ah tidak…”
34. I b u: “Agak lambat hari ini, Mun? Dimana kau berbuka puasa tadi?”
35. Maimun: “Kerja lembur, Bu. Tadi aku berbuka puasa bersama teman dikantor. Tapi biarlah, buat perkawinan Mintarsih nanti. Eh, mana dia Bu?”
36. I b u: “Mengantarkan jahitan…”
37. Maimun: (Menghampiri Gunarto Lalu Duduk Disebelahnya) “Bang, ada Kabar aneh, nih! Tadi pagi aku berjumpa dengan seorang tua yang serupa benar dengan Ayah?”
38. Gunarto: (Tampak Tak Terlalu Mendengarkan) “Oh, begitu?”
39. Maimun: “Waktu Pak Tirto berbelanja disentral, tiba-tiba ia berhadapan dengan seorang tua kira-kira berumur enam puluh tahun. Ia kaget juga?! Karena orang tua itu seperti yang pernah dikenalnya? Katanya orang tua itu serupa benar dengan Raden Saleh. Tapi kemudian orang itu menyingkirkan diri lalu menghilang dikerumunan orang banyak!”
40. Gunarto: “Ah, tidak mungkin dia ada disini…”
41. I b u: (Setelah Diam Sebentar) “Aku kira juga dia sudah meninggal dunia atau keluar negeri. Sudah dua puluh tahun semenjak dia pergi pada malam hari raya seperti ini.”
42. Maimun: “Ada orang mengatakan dia ada Singapur, Bu?”
43. I b u: “Tapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kata orang dia mempunyai toko yang sangat besar disana. Dan kata orang juga yang pernah melihat, hidupnya sangat mewah.”
44. Gunarto: (Kesal) “Ya! Tapi anaknya makan lumpur!”
45. I b u: (Seperti Tidak Mendengar Gunarto) “Tapi kemudian tak ada lagi sama sekali kabar apapun tentang Ayahmu. Apalagi sesudah perang sekarang ini, dimana kita dapat bertanya?”
46. Maimun: “Bagaimana rupa Ayah yang sebenarnya, Bu?”
47. I b u: “Waktu ia masih muda, ia tak suka belajar. Tidak seperti kau. Ia lebih suka berfoya-foya. Ayahmu pada masa itu sangat disegani orang. Ia suka meminjamkan uang kesana kemari. Dan itulah…”
48. Gunarto: (Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan) “Selama hari raya ini berapa hari kau libur, Mun?”
49. Maimun: “Dua hari, Bang.”
50. I b u: “Oh ya! Hampir lupa masih ada makanan yang belum Ibu Taruh dimeja. IBU LALU MASUK KEDALAM
51. Gunarto: (Setelah Diam Sebentar) “Pak Tirto bertemu dengan orang tua Itu kapan, Mun?”
52. Maimun: “Kemarin sore, Bang. Kira-kira jam setengah tujuh.”
53. Gunarto: “Bagaimana pakaiannya?”
54. Maimun: “Tak begitu bagus lagi katanya. Pakaiannya sudah compang camping dan kopiahnya sudah hampir putih.”
55. Gunarto: (Acuh Saja) “Oh begitu?”
56. Maimun: “Kau masih ingat rupa Ayah, Bang?”
57. Gunarto: (Cepat) “Tidak ingat lagi aku.”
58. Maimun: “Semestinya abang ingat, karena umur abang waktu itu sudah delapan tahun. Sedangkan aku saja masih ingat, walaupun samar-samar.”
59. Gunarto: (Agak Kesal) “Tidak ingat lagi aku. Sudah lama aku paksa Diriku untuk melupakannya.”
60. Maimun: (Terus Bicara) “Pak Tirto banyak cari tanya tentang Ayah.” IBU KELUAR KEMBALI MEMBAWA MAKANAN LALU BERGABUNG LAGI DENGAN MEREKA.
61. I b u: “Ya, kata orang Ayahmu seorang yang baik hati.” (MENERAWANG) “Jika ia berada disini sekarang, dirumah ini, besok hari raya, tentu ia bisa bersenang-senang dengan anak-anaknya…”
62. Gunarto: (Mengalihkan Pembicaraan) “Eh, Mintarsih seharusnya sudah pulang sekarang… jam berapa sekarang ini?”
63.Maimun: “Bang Narto. Ada kabar aneh lagi nih! Tadi pagi aku Berkenalan dengan orang India. Dia mengajarkan aku bahasa Urdu, dan aku memberikan pelajaran bahasa Indonesia kepada dia!
64. Gunarto: “Baguslah itu. Kau memang harus mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya nanti dapat dibanggakan kalau kau bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat! Jangan seperti aku ini, hanya lulusan sekolah rendah. Aku tidak pernah merasakan atau bisa lebih tinggi lagi, karena aku tidak punya Ayah. Tidak ada orang yang mau membantu aku. Tapi kau Maimun, yang sekolah cukup tinggi, bekerjalah sekuat tenagamu! Aku percaya kau pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang ini!” MASUK MINTARSIH SEORANG ANAK GADIS YANG TAMPAK RIANG. IA MEMBAWA SESUATU YANG TAMPAKNYA UNTUK KEPERLUAN HARI RAYA BESOK.

65.  Mintarsih: “Ah…. sudah berbuka puasa semuanya?”

66.  I b u: “Tadi kami menunggu kau, tapi lama benar?” (Mintarsih Bergerak Mendekati Jendela Lalu Melongokkan Kepalanya Melihat Keluar) “Makanlah… Apa yang kau lihat diluar?”Mintarsih: “Waktu saya lewat disitu tadi…” (Menoleh Melihat GunartoYang Tampak Acuh Saja) “Bang Narto… dengarlah dulu…”

67.  Gunarto: (Tenang) “Ya, aku dengar.”

68. Mintarsih: “Ada orang tua diujung jalan ini. Dari jembatan sana melihat lihat kearah rumah kita. Nampaknya seperti seorang pengemis.” (Semua Diam)  “Yah… kenapa semua jadi diam?”  GUNARTO TERTUNDUK MEMBISU

69. Maimun: (Dengan Cepat)  “Orang tua? Bagaimana rupanya?”

70. Mintarsih: “Hari agak gelap. Jadi tidak begitu jelas kelihatannya… tapi orangnya…”

TINGGI ATAU PENDEK TERGANTUNG PEMERAN, SUARA BEDUG AGAK KERAS TERDENGAR.

71. Maimun: (Bangkit Dari Duduknya Lalu Melihat Ke Jendela) “Coba ku lihat!”

KEMUDIAN MAIMUN KELUAR  TAK LAMA MASUK KEMBALI, LALU MELONGOKKAN KEPALANYA KE JENDELA LAGI

72Gunarto: (Menoleh Sedikit Kepada Maimun) “ Siapa Mun?”

73.  Maimun: “Tak ada orang kelihatannya?!” (Duduk Kembali)

74. I b u: (Tampak Sedih)  “Malam hari raya seperti ini ia berlalu dulu itu…” (Terkenang) Mungkin …”

75. Gunarto: (Agak Kesal) “Ah Bu, lupakan sajalah apa yang sudah berlalu itu.”

SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN TERDENGAR AGAK JELAS KETIKA SUASANA HENING, SAMBIL MENUNGGU DIALOG.

76.  I b u: “Waktu kami masih sama-sama muda, kami sangat berkasih kasihan. Sejelek-jelek Ayahmu, banyak juga kenangan-kenangan di masa itu yang tak dapat Ibu lupakan. Nak, mungkin ia kembali juga?”

SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN MAKIN SAYUP-SAYUP LALU TERDENGAR SUARA ORANG MEMBERI SALAM DARI PINTU LUAR.

77.  R. Saleh: “Assalamualaikum, assalamualaikum… apa disini rumahnya Nyonya Saleh?”

78.  I b u: “Astagfirullah! Seperti suara Ayahmu, nak? Ayahmu pulang, nak! “

IBU BERGERAK MENDEKATI PINTU RUMAH LALU MEMBUKA PINTU LEBIH LEBAR. DAN NAMPAK RADEN SALEH BERDIRI DIHADAPANNYA. SUASANA JADI HENING TIBA-TIBA. HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP NAMUN JELAS TERDENGAR.

79. R. Saleh: (Setelah Lama Berpandangan) “Tina? Engkau Tina?”

80. I b u: (Agak Gugup) “Saleh? Engkau Saleh? Engkau banyak berubah, Saleh.”

81. R. Saleh: (Tersenyum Malu)  “Ya aku berubah, Tina. Dua puluh tahun perceraian merubah wajahku.” (Kemudian Memandangi Anak-Anaknya Satu Persatu) “Dan ini tentunya anak-anak kita semua?”

82. I b u: “Ya, memang ini adalah anak-anakmu semua. Sudah lebih besar dari Ayahnya. Mari duduk, dan pandangilah mereka.

83. R. Saleh: (Ragu) “Apa? Aku boleh duduk, Tina?” MINTARSIH MENARIK KURSI UNTUK MEMPERSILAHKAN RADEN SALEH DUDUK.

84.  I b u: “Tentu saja boleh. Mari…” (Menuntun raden saleh sampai ke kursi) Ayahmu pulang, Nak.

85. Maimun: (Gembira Lalu Berlutut Dihadapan Raden Saleh) ”Ayah, aku Maimun.”

86. R. Saleh: “Maimun? Engkau sudah besar sekarang, Nak. Waktu aku Pergi dulu, engkau masih kecil sekali. Kakimu masih lemah, belum dapat berdiri.” (Diam sebentar lalu melihat mintarsih) “Dan Nona ini, siapa?”

88. Mintarsih: “Saya Mintarsih, Ayah.” (Lalu Mencium Tangan Ayahnya)

89. R. Saleh: “Ya, ya… Mintarsih. Aku dengar dari jauh bahwa aku mendapat seorang anak lagi. Seorang putri”. (Memandang Wajah Mintarsih) “Engkau cantik, Mintarsih. Seperti Ibumu dimasa muda.” (Ibu Tersipu Malu) “Aku senang sekali. Tak tahu apa yang harus ku lakukan?”

90. I b u: “Aku sendiri tidak tahu dimana aku harus memulai berbicara? Anak-anak semuanya sudah besar seperti ini. Aku kira inilah bahagia yang paling besar.”

91. R. Saleh: (Tersenyum Pahit) “Ya, rupanya anak-anak dapat juga besar walaupun tidak dengan Ayahnya.”

92. I b u: “Mereka semua sudah jadi orang pandai sekarang. Gunarto bekerja diperusahaan tenun. Dan Maimun tak pernah tinggal kelas selama bersekolah. Tiap kali keluar sebagai yang pertama dalam ujian. Sekarang mereka sudah mempunyai penghasilan masing-masing. Dan Mintarsih dia ini membantu aku menjahit.”

93. Mintarsih: (Malu) “Ah, Ibu.”

94. R. Saleh: (Sambil Batuk-Batuk) “Sepuluh tahun aku menjadi seorang saudagar besar disingapur. Aku menjadi kepala perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh orang. Tapi malang bagiku, toko itu habis terbakar. Lalu seolah-olah seperti masih belum puas menyeret aku kelembah kehancuran, saham-saham yang ku beli merosot semua nilainya sehabis perang ini. Sesudah itu semua segala yang kukerjakan tak ada lagi yang sempurna. Sementara aku sudah mulai tua. Lalu tempat tinggalku, keluargaku, anak isteriku tergambar kembali didepan mata dan jiwaku. Kalian seperti mengharapkan kasihku.” (Batuk-batuk. Lalu memandang Gunarto) “Maukah engkau memberikan air segelas buat ku Gunarto? Hanya engkau yang tidak…”

95. I b u: (Gelisah Serba Salah) “Narto, Ayahmu yang berbicara itu.” “Mestinya engkau gembira, nak. Sudah semestinya Ayah berjumpa kembali dengan anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak bertemu.”

96. R. Saleh: “Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun. Maukah kau memberikan Ayah air segelas?”

97. Maimun: “Baik, Ayah.” MAIMUN BERGERAK HENDAK MENGAMBILKAN AIR MINUM, TAPI NIATNYA TERHENTI OLEH TEGURAN KERAS GUNARTO.

98. Gunarto: “Maimun! Kapan kau mempunyai seorang Ayah!”

99. I b u: “Gunarto!” (Sedih, Gelisah Dan Mulai Menangis)

100. Gunarto: (Bicara Perlahan Tapi Pahit) “Kami tidak mempunyai Ayah, Bu. Kapan kami mempunyai seorang Ayah?”

101. I b u: (Agak Keras Tapi Tertahan) “Gunarto! Apa katamu itu!”

102. Gunarto: “Kami tidak mempunyai seorang Ayah kataku. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya kami membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan tahun, aku dan Ibu hampir saja terjun kedalam laut, untung Ibu cepat sadar. Dan jika kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kami besar dalam keadaan sengsara. Rasa gembira didalam hati sedikitpun tidak ada. Dan kau Maimun,. Lupakah engkau waktu menangis disekolah rendah dulu? Karena kau tidak bisa membeli kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Dan kau pergi kesekolah dengan pakaian yang sudah robek dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya seorang Ayah, lalu kenapa hidup kita melarat selama ini!”

IBU DAN MINTARSIH MULAI MENANGIS DAN MAIMUN MERASA SEDIH.

103. Maimun: “Tapi bang, Narto. Ibu saja sudah memaafkannya. Kenapa kita tidak?”

104. Gunarto: (Sikapnya Dingin, Namun Keras) “Ibu seorang perempuan. Waktu aku kecil dulu, aku pernah menangis dipangkuan Ibu karena lapar, dingin dan penyakitan, dan Ibu selalu bilang “Ini semua adalah kesalahan Ayahmu, Ayahmu yang harus disalahkan.” Lalu kemudian aku jadi budak suruhan orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor orang lain! Tapi aku berusaha bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan keluargaku! Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain! Yah.. orang yang meninggalkan anak dan isterinya dalam keadaan sengsara. Tapi aku sanggup menjadi orang yang berharga, meskipun aku tidak mengenal kasih sayang seorarng ayah! Waktu aku berumur delapan belas tahun, tak lain yang selalu terbayang dan terlihat diruang mataku hanya gambaran Ayahku yang telah sesat! Ia melarikan diri dengan seorang perempuan asing yang lalu menyeretnya kedalam lembah kedurjanaan! Lupa ia kepada anak dan isterinya! Juga lupa ia kepada kewajibannya karena nafsunya telah membawanya kepintu neraka! Hutangnya yang ditinggalkan kepada kita bertimbun-timbun! Sampai-sampai buku tabunganku yang disimpan oleh Ibu ikut hilang juga bersama Ayah yang minggat itu! Yah, masa kecil kita sungguh-sungguh sangat tersiksa. Maka jika memang kita mempunyai Ayah, maka Ayah itulah musuhku yang sebesar-besarnya!”

105. I b u: “Gunarto!” (Mintarsih Dan Ibu Menangis)

106. Maimun: “Bang!”

107. Mintarsih: “Bang!” KALAU MUNGKIN DIALOG MEREKA BERTIGA TADI DIUCAPKAN BERBARENGAN

108. Maimun: (Dengan Suara Agak Sedih) “Tapi, Bang. Lihat Ayah sudah Seperti ini sekarang. Ia sudah tua bang Narto.”

109. Gunarto: “Maimun, sering benar kau ucapkan kalimat “Ayah” kepada orang yang tidak berarti ini? Cuma karena ada seorang tua yang masuk kerumah ini dan ia mengatakan kalau ia Ayah kita, lalu kau sebut pula ia Ayah kita? Padahal dia tidak kita kenal. Sama sekali tidak Maimun. Coba kau perhatikan apakah kau benar-benar bisa merasakan kalau kau sedang berhadapan dengan Ayah mu?”

110. Maimun: “Bang Narto, kita adalah darah dagingnya. Bagaimanapun buruknya kelakuan dia kita tetap anaknya yang harus merawatnya.”

111. Gunarto: “Jadi maksudmu ini adalah kewajiban kita? Sesudah melepaskan hawa nafsunya dimana-mana, lalu sekarang ia kembali lagi kesini karena sudah tua dan kita harus memeliharanya? Huh, enak betul!”

112. I b u: (Bingung, Serba-Salah)  “Gunarto, sampai hati benar kau Berkata begitu terhadap Ayahmu. Ayah kandungmu.

113. Gunarto: (Cepat)  “Ayah kandung? Memang Gunarto yang dulu pernah punya Ayah, tapi dia sudah meninggal dunia dua puluh tahun yang lalu. Dan Gunarto yang sekarang adalah Gunarto yang dibentuk oleh Gunarto sendiri! aku tidak pernah berhutang budi kepada siapapun diatas dunia ini. Aku merdeka, semerdeka merdekanya, Bu!” SUARA BEDUG DAN TAKBIR BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI SUARA TANGIS IBU DAN MINTARSIH.

114. R. Saleh: (Diantara Batuknya) “Aku memang berdosa dulu itu. Aku mengaku. Dan itulah sebabnya aku kembali pada hari ini. Pada hari tuaku untuk memperbaiki kesalahan dan dosaku. Tapi ternyata sekarang…. yah, benar katamu Narto. Aku seorang tua dan aku tidak bermaksud untuk mendorong-dorongkan diri agar diterima dimana tempat yang aku tidak dikehendaki.” (Berfikir,sementara maimun tertunduk diam dan mintarsih menangis dipelukan ibunya) “Baiklah aku akan pergi. Tapi tahukah kau Narto, bagaimana sedih rasa hatiku. Aku yang pernah dihormati, orang kaya yang memiliki uang berjuta-juta banyaknya, sekarang diusir sebagai pengemis oleh seorang anak kandungnya sendiri… tapi biarlah sedalam apapun aku terjerumus kedalam kesengsaraan, aku tidak akan mengganggu kalian lagi.” (Berdiri Hendak Pergi, Tetap Batuk-Batuk)

115. Maimun: (Menahan) “Tunggu dulu, Ayah! Jika Bang Narto tidak mau menerima Ayah, akulah yang menerima Ayah. Aku tidak perduli apa yang terjadi!”

116. Gunarto: “Maimun! Apa pernah kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku pernah menerima tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji djarahpun, tak pernah aku menerima apa-apa dari dia!”

117. Maimun: “Jangan begitu keras, Bang Narto.”

118. Gunarto: (Marah, Dengan Cepat) “Jangan kau membela dia! Ingat, siapa yang membesarkan kau! Kau lupa! Akulah yang membiayaimu selama ini dari penghasilanku sebagai kuli dan kacung suruhan! Ayahmu yang sebenar-benarnya adalah aku!”

119. Mintarsih: “Engkau menyakiti hati Ibu, Bang.” (Sambil Tersedu-Sedu)

120. Gunarto: “Kau ikut pula membela-bela dia! Sedangkan untuk kau, aku juga yang bertindak menjadi Ayahmu selama ini! Baiklah, peliharalah orang itu jika memang kalian cinta kepadanya! Mungkin kau tidak merasakan dulu pahit getirnya hidup karena kita tidak punya seorang Ayah. Tapi sudahlah, demi kebahagiaan saudara-saudaraku, jangan sampai menderita seperti aku ini.” IBU DAN MINTARSIH TERUS MENANGIS, SEMENTARA MAIMUN DIA KAKU, SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERUS BERSAHUT-SAHUTAN. LALU TERDENGAR SUARA GEMURUH PETIR DAN HUJANPUN TURUN.

121. R. Saleh: “Aku mengerti… bagiku tidak ada jalan untuk kembali. Jika Aku kembali aku hanya mengganggu kedamaian dan kebahagiaan anakku saja. Biarlah aku pergi. Inilah jalan yang terbaik. Tidak ada jalan untuk kembali. RADEN SALEH BERGERAK PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK, SEMENTARA MAIMUN MENGIKUTI DARI BELAKANG.

122. Maimun: “Ayah, apa Ayah punya uang? Ayah sudah makan?”

123. Mintarsih: (Dengan Air Mata Tangisan) “Kemana Ayah akan pergi sekarang?”

124. R. Saleh: “Tepi jalan atau dalam sungai. Aku cuma seorang pengemis sekarang. Seharusnya memang aku malu untuk masuk kedalam rumah ini yang kutinggalkan dulu. Aku sudah tua lemah dan sadar, langkahku terayun kembali. Yah, sudah tiga hari aku berdiri didepan sana, tapi aku malu tak sanggup sebenarnya untuk masuk kesini. Aku sudah tua, dan…” RADEN SALEH MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU LALU KELUAR DENGAN PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK. BERJALAN LEMAH DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP MASIH TERDENGAR, SEMENTARA HUJAN MULAI TURUN DENGAN DERAS.

125. I b u: (Sambil Menangis) “Malam hari raya dia pergi dan datang Untuk pergi kembali. Seperti gelombang yang dimainkan oleh angin topan. Demikianlah nasib Ibu, Nak.”

126. Mintarsih: (Sambil Menangis Menghampiri Gunarto, Lalu Bergerak Kedekat Jendela) “Bang…. bagaimanakah Abang? Tidak dapatkah Abang memaafkan Ayah? Besok hari raya, sudah semestinya kita saling memaafkan. Abang tidak kasihan? Kemana dia akan pergi setua itu?” HUJAN SEMAKIN DERAS

127. Maimun: (Kesal) “Tidak ada rasa belas kasihan. Tidak ada rasa tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang tidak berAyah lagi.”

128. Mintarsih: “Dalam hujan lebat seperti ini, Abang suruh dia pergi. Dia Ayah kita Bang. Ayah kita sendiri!

129. Gunarto: (Memandang Adiknya) “Janganlah kalian lihat aku sebagai terdakwa. Mengapa kalian menyalahkan aku saja? Aku sudah hilangkan semua rasa itu! Sekarang kalian harus pilih, dia atau aku!”

130. Maimun: (Tiba-Tiba Bangkit Marahnya) “Tidak! Aku akan panggil kembali Ayahku pulang! Aku tidak perduli apa yang Abang mau lakukan? Kalau perlu bunuh saja aku kalau Abang mau! Aku akan panggil Ayahku! Ayahku pulang! Ayahku mesti pulang!” MAIMUN LARI KELUAR RUMAH, SEMENTARA HUJAN MAKIN LEBAT DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN SAYUP-SAYUP TERDENGAR.

131. Gunarto: “Maimun kembali!” GUNARTO CEPAT HENDAK MENYUSUL MAIMUN TAPI TIDAK JADI LALU PERLAHAN-LAHAN DUDUK KEMBALI. IBU DAN MINTARSIH MENANGIS. SUASANA HENING SEJENAK HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN SERTA GEMURUH HUJAN. TAK BERAPA LAMA TAMPAK MAIMUN MASUK KEMBALI. NAMUN IA HANYA MEMBAWA PAKAIAN  DAN KOPIAH AYAHNYA SAJA. MAIMUN KELIHATAN MENANGIS.

132. Mintarsih: “Mana Ayah, Bang?”

133. I bu: “Mana Ayahmu?”

134. Maimun: “Tidak aku lihat. Hanya kopiah dan bajunya saja yang kudapati…”

135. Gunarto: “Maimun, dimana kau dapatkan baju dan kopiah itu?”

136. Maimun: “Dibawah lampu dekat jembatan…”

137. Gunarto: “Lalu Ayah? Bagaimana dengan Ayah? Dimana Ayah?”

138 Maimun: “Aku tidak tahu…”

139. Gunarto:(Kaget dan Sadar) “Jadi, jadi Ayah meloncat kedalam sungai!”

140. I b u: (Menjerit) “Gunarto….!”

141. Gunarto: (Berbicara Sendiri Sambil Memeggang Pakaian Dan Kopiah Ayahnya. Tampak Menyesal) “Dia tak tahan menerima penghinaan dariku. Dia yang biasa dihormati orang, dan dia yang angkuh, yah, angkuh seperti diriku juga… Ayahku. Aku telah membunuh Ayahku. Ayahku sendiri. Ayahku pulang, Ayahku pulang…” GUNARTO BERTERIAK MEMANGGIL-MANGGIL AYAHNYA LALU LARI KELUAR RUMAH DAN TERUS BERTERIAK-TERIAK SEPERTI ORANG GILA. IBU MINTARSIH DAN MAIMUN BERBARENGAN BERTERIAK MEMANGGIL GUNARTO “GUNARTO….!!” SUARA BEDUG BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI TAKBIR. SEMENTARA HUJAN MASIH SAJA TURUN DENGAN DERASNYA. LAMPU PANGGUNG PERLAHAN-LAHAN MATI LALU LAYAR TURUN.

S  E  L  E  S  A  I