Kamis, 13 Desember 2018

Naskah Drama : AYAHKU PULANG

”AYAHKU PULANG”
Penulis Naskah : Usmar Ismail

SINOPSIS CERITA
Drama ini mengisahkan tentang konflik keluarga dimana Raden Salah selaku kepala keluarga pergi meninggalkan tiga orang anak yaitu Gunarto, Maimun dan Mintarsih serta menceraikan Tina istrinya dengan keadaan ekonomi yang susah. Gunarto merasa benci dengan ayahnya yang tidak bertanggung jawab pada keluarga, akan tetapi Tina (Sang Ibu) terus berusaha mengingatkan Gunarto agar tidak membenci Raden Saleh selaku Ayah kandungnya. Tina merupakan seorang Ibu yang luar biasa, tanpa seorang suami dia berhasil membesarkan ketiga anaknya walau dengan keadaan yang sangat sederhana.

Setelah 20 tahun kemudian, Raden Saleh (ayah) kembali pulang ke rumah dalam keadaan tua renta serta miskin, akan tetapi Gunarto masih tetap saja menyimpan rasa kebencian pada ayahnya. Gunarto merasa bahwa selama ini dia tidak memiliki seorang ayah.

Kebencian Gunarto terhadap Raden Saleh (ayah) berbanding terbalik dengan perasaan Ibu, serta adik-adiknya. Mereka masih mau menerima ayahnya untuk kembali. Akan tetapi apa daya, kebencian Gunarto menimbulkan perasaan yang berkecamuk bagi Raden Saleh (ayah). Akhirnya Raden Saleh (ayah) memilih untuk pergi meninggalkan rumah dan memutuskan untuk tidak mengusik lagi kehidupan keluarga kecilnya yang pernah dia tinggalkan.

Penokohan:
1. RADEN SALEH: Ayah.
2. T I N A: Ibu atau Isteri Raden Saleh.
3. GUNARTO: Anak laki-laki tertua Raden Saleh dan Tina.
4. MAIMUN: Adik laki-laki Gunarto atau anak kedua Raden Saleh dan Tina.
5. MINTARSIH: Adik perempuan Gunarto dan Maimun atau anak bungsu Raden Saleh dan Tina.

Tata Panggung:
Panggung menggambarkan sebuah ruangan dalam dari sebuah rumah yang sangat sederhana dengan sebuah jendela agak tua. Di kiri kanan ruangan terdapat pintu. Di sebelah kiri ruangan terdapat satu set kursi dan meja yang agak tua, disebelah kanan terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat buah kursinya, tampak cangkir teh, kue-kue dan peralatan lainnya diatas meja. Suara adzan di latar belakang menunjukkan saat berbuka puasa.

Sebelum layar diangkat sebaiknya terlebih dahulu sudah terdengar suara beduk bersahut-sahutan diiringi suara takbir beberapa kali sebagai tanda kalau esok adalah hari raya idul fitri. Suara bedug dan takbir sebaiknya terus terdengar dari mulai layar diangkat/sandiwara dimulai sampai akhir pertunjukkan ini. Ketika sandiwara dimulai/layar panggung diangkat, tampak ibu sedang duduk dikursi dekat jendela. Ekspresinya kelihatan sedih dan haru mendengar suara beduk dan takbiran yang bersahut-sahutan itu. Kemudian masuk kepanggung gunarto.

1. Gunarto: “Ibu masih berpikir lagi…”
2. I b u: “Malam Hari Raya Narto. Dengarlah suara bedug itu bersahut-sahutan.” “Pada malam hari raya seperti inilah Ayahmu pergi dengan tidak meninggalkan sepatah katapun.”
3. Gunarto: “Ayah…”
4. I b u: “Keesokan harinya Hari Raya, selesai sholat kuampun dosanya…”
5. Gunarto: “Kenapa masih Ibu ingat lagi masa lampau itu? Mengingat orang yang sudah tidak ingat lagi kepada kita?”
6. I b u: (Memandang Gunarto) “Aku merasa bahwa ia masih ingat kepada kita.”
7. Gunarto: (Bergerak ke Meja Makan) “Mintarsih kemana, Bu?”
8. I b u: “Mintarsih keluar tadi mengantarkan jahitan, Narto.”
9. Gunarto: (Heran) “Mintarsih masih juga mengambil upah jahitan, Bu?” “Bukankah seharusnya ia tidak usah lagi membanting tulang sekarang?”
10. I b u: “Biarlah Narto. Karena kalau ia sudah kawin nanti,
kepandaiannya itu tidak sia-sia nanti.”
11. Gunarto: (Bergerak Mendekati Ibu, Lalu Bicara Dengan Lembut) “Sebenarnya Ibu mau mengatakan kalau penghasilanku tidak cukup untuk membiayai makan kita sekeluarga kan, Bu?” (Diam Sejenak. Pause) “Bagaimana dengan lamaran itu, Bu?”
12. I b u: “Mintarsih nampaknya belum mau bersuami, Narto.. Tapi dari pihak orang tua anak lelaki itu terus mendesak Ibu saja..”
13. Gunarto: “Apa salahnya, Bu? Mereka uangnya banyak!”
14. I b u: “Ah… uang, Narto?”
15. Gunarto: (Sadar Karena Tadi Berbicara Salah) “Maaf Bu… bukan maksud aku mau menjual adik sendiri” (Lalu Bicara Dengan Dirinya Sendiri). “Ah… aku jadi mata duitan… yah mungkin karena hidup yang penuh penderitaan ini…”
16. I b u: (Menerawang) “Ayahmu seorang hartawan yang mempunyai tanah dan kekayaan yang sangat banyak, mewah diwaktu kami menikah dulu. Tetapi kemudian, seperti pokok yang ditiup angin kencang, buahnya gugur karena…” (Suasana Sejenak Hening, Penuh Tekanan Bathin, Suara Ibu Lemah Tertekan) “Uang Narto! Tidak Narto, tidak… aku tidak mau terkena dua kali, aku tidak mau adikmu bersuamikan seorang Hartawan, tidak… cukuplah aku saja sendiri. Biarlah ia hidup sederhana, Mintarsih mestilah bersuamikan orang yang berbudi tinggi, mesti, mesti…”
17. Gunarto: (Coba Menghibur Ibu) “Tapi kalau bisa kedua-duanya Sekaligus Bu? Ada harta ada budi.”
18. I b u:”Dimanalah dicari, Narto? Adik kau Mintarsih hanyalah seorang gadis biasa. Apalagi sekarang ini keadaan kita susah? Kita tidak punya uang dirumah? Sebentar hari lagi uang simpananku yang terakhirpun akan habis pula.”
19. Gunarto: (Diam Berfikir, Kemudian Kesal) “Semua ini adalah karena ulah Ayah! Hingga Mintarsih harus menderita pula! Sejak kecil Mintarsih sudah merasakan pahit getirnya kehidupan. Tapi kita harus mengatasi kesulitan ini, Bu! Harus! Ini kewajibanku sebagai abangnya, aku harus lebih keras lagi berusaha!” (Hening Sejenak Pause. Lalu Bicara Kepada Dirinya Sendiri) Kalau saja aku punya uang sejuta…
20. I b u: “Buat perkawinan Mintarsih, lima ratus ribu rupiah saja sudah cukup,Narto.” (Ibu Coba Tersenyum) “Sesudah Mintarsih nanti, datanglah giliranmu Narto…”
21. Gunarto: (Kaget) “Aku kawin,Bu? Belum bisa aku memikirkan kesenangan untuk diriku sendiri sekarang ini, Bu. Sebelum saudara-saudaraku senang dan Ibu ikut mengecap kebahagiaan atas jerih payahku nanti Bu.”
SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERDENGAR LEBIH KERAS SEDIKIT.
22. I b u: “Aku sudah merasa bahagia kalau kau bahagia, Narto. Karena nasibku bersuami tidak baik benar.” (Kembali Fikirannya Menerawang) “Dan kata orang bahagia itu akan turun kepada anaknya.” (Pause Lalu Terdengar Suara Bedug Takbir Lebih Keras Lagi. Ibu Mulai Bicara Lagi) “Malam hari raya sewaktu ia pergi itu, tak tahu aku apa yang mesti aku kerjakan? Tetapi…” (KEMBALI SEDIH DAN HARU)
23. Gunarto: (Tampak Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan) “Maimun lambat benar pulang hari ini, Bu?”
24. I b u: “Barangkali banyak yang harus dikerjakannya? Karena katanya mungkin bulan depan dia naik gaji.”
25. Gunarto: “Betul bu itu? Maimun memang pintar, otaknya encer. Tapi karena kita tak punya uang kita tak bisa membiayai sekolahnya lebih lanjut lagi. Tapi kalau ia mau bekerja keras, tentu ia akan menjadi orang yang berharga di masyarakat!”
26. I b u : (Agak Mengoda) “Narto… siapa gadis yang sering ku lihat bersepeda bersamamu?”
27. Gunarto: (Kaget. Gugup) “Ah…dia itu cuma teman sekerja, Bu.”
28. I b u: “Tapi Ibu rasa pantas sekali dia buat kau, Narto. Meskipun Ibu lihat dia bukanlah orang yang rendah seperti kita derajatnya. Tapi kalau kau suka…”
29. Gunarto(Memotong Bicara Ibu) “Ah… buat apa memikirkan kawin sekarang, Bu? Mungkin kalau sepuluh tahun lagi nanti kalau sudah beres.”
30. I b u: “Tapi kalau Mintarsih nanti sudah kawin, kau mesti juga Narto? Kau kan lebih tua.” (Diam Sebentar Lalu Terkenang) “Waktu Ayahmu pergi pada malam hari raya itu, ku peluk kalian anak-anakku semuanya, hilang akalku…”
31. Gunarto: “Sudahlah Bu. Buat apa mengulang kaji lama?” MASUK MAIMUN DIA TAMPAK KELIHATAN SENANG.
32. Maimun: (Setelah Meletakkan Tas Kerjanya Lalu Bicara) ”Lama menunggu, Bu? Bang?”
33. Gunarto: “Ah tidak…”
34. I b u: “Agak lambat hari ini, Mun? Dimana kau berbuka puasa tadi?”
35. Maimun: “Kerja lembur, Bu. Tadi aku berbuka puasa bersama teman dikantor. Tapi biarlah, buat perkawinan Mintarsih nanti. Eh, mana dia Bu?”
36. I b u: “Mengantarkan jahitan…”
37. Maimun: (Menghampiri Gunarto Lalu Duduk Disebelahnya) “Bang, ada Kabar aneh, nih! Tadi pagi aku berjumpa dengan seorang tua yang serupa benar dengan Ayah?”
38. Gunarto: (Tampak Tak Terlalu Mendengarkan) “Oh, begitu?”
39. Maimun: “Waktu Pak Tirto berbelanja disentral, tiba-tiba ia berhadapan dengan seorang tua kira-kira berumur enam puluh tahun. Ia kaget juga?! Karena orang tua itu seperti yang pernah dikenalnya? Katanya orang tua itu serupa benar dengan Raden Saleh. Tapi kemudian orang itu menyingkirkan diri lalu menghilang dikerumunan orang banyak!”
40. Gunarto: “Ah, tidak mungkin dia ada disini…”
41. I b u: (Setelah Diam Sebentar) “Aku kira juga dia sudah meninggal dunia atau keluar negeri. Sudah dua puluh tahun semenjak dia pergi pada malam hari raya seperti ini.”
42. Maimun: “Ada orang mengatakan dia ada Singapur, Bu?”
43. I b u: “Tapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kata orang dia mempunyai toko yang sangat besar disana. Dan kata orang juga yang pernah melihat, hidupnya sangat mewah.”
44. Gunarto: (Kesal) “Ya! Tapi anaknya makan lumpur!”
45. I b u: (Seperti Tidak Mendengar Gunarto) “Tapi kemudian tak ada lagi sama sekali kabar apapun tentang Ayahmu. Apalagi sesudah perang sekarang ini, dimana kita dapat bertanya?”
46. Maimun: “Bagaimana rupa Ayah yang sebenarnya, Bu?”
47. I b u: “Waktu ia masih muda, ia tak suka belajar. Tidak seperti kau. Ia lebih suka berfoya-foya. Ayahmu pada masa itu sangat disegani orang. Ia suka meminjamkan uang kesana kemari. Dan itulah…”
48. Gunarto: (Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan) “Selama hari raya ini berapa hari kau libur, Mun?”
49. Maimun: “Dua hari, Bang.”
50. I b u: “Oh ya! Hampir lupa masih ada makanan yang belum Ibu Taruh dimeja. IBU LALU MASUK KEDALAM
51. Gunarto: (Setelah Diam Sebentar) “Pak Tirto bertemu dengan orang tua Itu kapan, Mun?”
52. Maimun: “Kemarin sore, Bang. Kira-kira jam setengah tujuh.”
53. Gunarto: “Bagaimana pakaiannya?”
54. Maimun: “Tak begitu bagus lagi katanya. Pakaiannya sudah compang camping dan kopiahnya sudah hampir putih.”
55. Gunarto: (Acuh Saja) “Oh begitu?”
56. Maimun: “Kau masih ingat rupa Ayah, Bang?”
57. Gunarto: (Cepat) “Tidak ingat lagi aku.”
58. Maimun: “Semestinya abang ingat, karena umur abang waktu itu sudah delapan tahun. Sedangkan aku saja masih ingat, walaupun samar-samar.”
59. Gunarto: (Agak Kesal) “Tidak ingat lagi aku. Sudah lama aku paksa Diriku untuk melupakannya.”
60. Maimun: (Terus Bicara) “Pak Tirto banyak cari tanya tentang Ayah.” IBU KELUAR KEMBALI MEMBAWA MAKANAN LALU BERGABUNG LAGI DENGAN MEREKA.
61. I b u: “Ya, kata orang Ayahmu seorang yang baik hati.” (MENERAWANG) “Jika ia berada disini sekarang, dirumah ini, besok hari raya, tentu ia bisa bersenang-senang dengan anak-anaknya…”
62. Gunarto: (Mengalihkan Pembicaraan) “Eh, Mintarsih seharusnya sudah pulang sekarang… jam berapa sekarang ini?”
63.Maimun: “Bang Narto. Ada kabar aneh lagi nih! Tadi pagi aku Berkenalan dengan orang India. Dia mengajarkan aku bahasa Urdu, dan aku memberikan pelajaran bahasa Indonesia kepada dia!
64. Gunarto: “Baguslah itu. Kau memang harus mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya nanti dapat dibanggakan kalau kau bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat! Jangan seperti aku ini, hanya lulusan sekolah rendah. Aku tidak pernah merasakan atau bisa lebih tinggi lagi, karena aku tidak punya Ayah. Tidak ada orang yang mau membantu aku. Tapi kau Maimun, yang sekolah cukup tinggi, bekerjalah sekuat tenagamu! Aku percaya kau pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang ini!” MASUK MINTARSIH SEORANG ANAK GADIS YANG TAMPAK RIANG. IA MEMBAWA SESUATU YANG TAMPAKNYA UNTUK KEPERLUAN HARI RAYA BESOK.

65.  Mintarsih: “Ah…. sudah berbuka puasa semuanya?”

66.  I b u: “Tadi kami menunggu kau, tapi lama benar?” (Mintarsih Bergerak Mendekati Jendela Lalu Melongokkan Kepalanya Melihat Keluar) “Makanlah… Apa yang kau lihat diluar?”Mintarsih: “Waktu saya lewat disitu tadi…” (Menoleh Melihat GunartoYang Tampak Acuh Saja) “Bang Narto… dengarlah dulu…”

67.  Gunarto: (Tenang) “Ya, aku dengar.”

68. Mintarsih: “Ada orang tua diujung jalan ini. Dari jembatan sana melihat lihat kearah rumah kita. Nampaknya seperti seorang pengemis.” (Semua Diam)  “Yah… kenapa semua jadi diam?”  GUNARTO TERTUNDUK MEMBISU

69. Maimun: (Dengan Cepat)  “Orang tua? Bagaimana rupanya?”

70. Mintarsih: “Hari agak gelap. Jadi tidak begitu jelas kelihatannya… tapi orangnya…”

TINGGI ATAU PENDEK TERGANTUNG PEMERAN, SUARA BEDUG AGAK KERAS TERDENGAR.

71. Maimun: (Bangkit Dari Duduknya Lalu Melihat Ke Jendela) “Coba ku lihat!”

KEMUDIAN MAIMUN KELUAR  TAK LAMA MASUK KEMBALI, LALU MELONGOKKAN KEPALANYA KE JENDELA LAGI

72Gunarto: (Menoleh Sedikit Kepada Maimun) “ Siapa Mun?”

73.  Maimun: “Tak ada orang kelihatannya?!” (Duduk Kembali)

74. I b u: (Tampak Sedih)  “Malam hari raya seperti ini ia berlalu dulu itu…” (Terkenang) Mungkin …”

75. Gunarto: (Agak Kesal) “Ah Bu, lupakan sajalah apa yang sudah berlalu itu.”

SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN TERDENGAR AGAK JELAS KETIKA SUASANA HENING, SAMBIL MENUNGGU DIALOG.

76.  I b u: “Waktu kami masih sama-sama muda, kami sangat berkasih kasihan. Sejelek-jelek Ayahmu, banyak juga kenangan-kenangan di masa itu yang tak dapat Ibu lupakan. Nak, mungkin ia kembali juga?”

SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN MAKIN SAYUP-SAYUP LALU TERDENGAR SUARA ORANG MEMBERI SALAM DARI PINTU LUAR.

77.  R. Saleh: “Assalamualaikum, assalamualaikum… apa disini rumahnya Nyonya Saleh?”

78.  I b u: “Astagfirullah! Seperti suara Ayahmu, nak? Ayahmu pulang, nak! “

IBU BERGERAK MENDEKATI PINTU RUMAH LALU MEMBUKA PINTU LEBIH LEBAR. DAN NAMPAK RADEN SALEH BERDIRI DIHADAPANNYA. SUASANA JADI HENING TIBA-TIBA. HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP NAMUN JELAS TERDENGAR.

79. R. Saleh: (Setelah Lama Berpandangan) “Tina? Engkau Tina?”

80. I b u: (Agak Gugup) “Saleh? Engkau Saleh? Engkau banyak berubah, Saleh.”

81. R. Saleh: (Tersenyum Malu)  “Ya aku berubah, Tina. Dua puluh tahun perceraian merubah wajahku.” (Kemudian Memandangi Anak-Anaknya Satu Persatu) “Dan ini tentunya anak-anak kita semua?”

82. I b u: “Ya, memang ini adalah anak-anakmu semua. Sudah lebih besar dari Ayahnya. Mari duduk, dan pandangilah mereka.

83. R. Saleh: (Ragu) “Apa? Aku boleh duduk, Tina?” MINTARSIH MENARIK KURSI UNTUK MEMPERSILAHKAN RADEN SALEH DUDUK.

84.  I b u: “Tentu saja boleh. Mari…” (Menuntun raden saleh sampai ke kursi) Ayahmu pulang, Nak.

85. Maimun: (Gembira Lalu Berlutut Dihadapan Raden Saleh) ”Ayah, aku Maimun.”

86. R. Saleh: “Maimun? Engkau sudah besar sekarang, Nak. Waktu aku Pergi dulu, engkau masih kecil sekali. Kakimu masih lemah, belum dapat berdiri.” (Diam sebentar lalu melihat mintarsih) “Dan Nona ini, siapa?”

88. Mintarsih: “Saya Mintarsih, Ayah.” (Lalu Mencium Tangan Ayahnya)

89. R. Saleh: “Ya, ya… Mintarsih. Aku dengar dari jauh bahwa aku mendapat seorang anak lagi. Seorang putri”. (Memandang Wajah Mintarsih) “Engkau cantik, Mintarsih. Seperti Ibumu dimasa muda.” (Ibu Tersipu Malu) “Aku senang sekali. Tak tahu apa yang harus ku lakukan?”

90. I b u: “Aku sendiri tidak tahu dimana aku harus memulai berbicara? Anak-anak semuanya sudah besar seperti ini. Aku kira inilah bahagia yang paling besar.”

91. R. Saleh: (Tersenyum Pahit) “Ya, rupanya anak-anak dapat juga besar walaupun tidak dengan Ayahnya.”

92. I b u: “Mereka semua sudah jadi orang pandai sekarang. Gunarto bekerja diperusahaan tenun. Dan Maimun tak pernah tinggal kelas selama bersekolah. Tiap kali keluar sebagai yang pertama dalam ujian. Sekarang mereka sudah mempunyai penghasilan masing-masing. Dan Mintarsih dia ini membantu aku menjahit.”

93. Mintarsih: (Malu) “Ah, Ibu.”

94. R. Saleh: (Sambil Batuk-Batuk) “Sepuluh tahun aku menjadi seorang saudagar besar disingapur. Aku menjadi kepala perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh orang. Tapi malang bagiku, toko itu habis terbakar. Lalu seolah-olah seperti masih belum puas menyeret aku kelembah kehancuran, saham-saham yang ku beli merosot semua nilainya sehabis perang ini. Sesudah itu semua segala yang kukerjakan tak ada lagi yang sempurna. Sementara aku sudah mulai tua. Lalu tempat tinggalku, keluargaku, anak isteriku tergambar kembali didepan mata dan jiwaku. Kalian seperti mengharapkan kasihku.” (Batuk-batuk. Lalu memandang Gunarto) “Maukah engkau memberikan air segelas buat ku Gunarto? Hanya engkau yang tidak…”

95. I b u: (Gelisah Serba Salah) “Narto, Ayahmu yang berbicara itu.” “Mestinya engkau gembira, nak. Sudah semestinya Ayah berjumpa kembali dengan anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak bertemu.”

96. R. Saleh: “Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun. Maukah kau memberikan Ayah air segelas?”

97. Maimun: “Baik, Ayah.” MAIMUN BERGERAK HENDAK MENGAMBILKAN AIR MINUM, TAPI NIATNYA TERHENTI OLEH TEGURAN KERAS GUNARTO.

98. Gunarto: “Maimun! Kapan kau mempunyai seorang Ayah!”

99. I b u: “Gunarto!” (Sedih, Gelisah Dan Mulai Menangis)

100. Gunarto: (Bicara Perlahan Tapi Pahit) “Kami tidak mempunyai Ayah, Bu. Kapan kami mempunyai seorang Ayah?”

101. I b u: (Agak Keras Tapi Tertahan) “Gunarto! Apa katamu itu!”

102. Gunarto: “Kami tidak mempunyai seorang Ayah kataku. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya kami membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan tahun, aku dan Ibu hampir saja terjun kedalam laut, untung Ibu cepat sadar. Dan jika kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kami besar dalam keadaan sengsara. Rasa gembira didalam hati sedikitpun tidak ada. Dan kau Maimun,. Lupakah engkau waktu menangis disekolah rendah dulu? Karena kau tidak bisa membeli kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Dan kau pergi kesekolah dengan pakaian yang sudah robek dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya seorang Ayah, lalu kenapa hidup kita melarat selama ini!”

IBU DAN MINTARSIH MULAI MENANGIS DAN MAIMUN MERASA SEDIH.

103. Maimun: “Tapi bang, Narto. Ibu saja sudah memaafkannya. Kenapa kita tidak?”

104. Gunarto: (Sikapnya Dingin, Namun Keras) “Ibu seorang perempuan. Waktu aku kecil dulu, aku pernah menangis dipangkuan Ibu karena lapar, dingin dan penyakitan, dan Ibu selalu bilang “Ini semua adalah kesalahan Ayahmu, Ayahmu yang harus disalahkan.” Lalu kemudian aku jadi budak suruhan orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor orang lain! Tapi aku berusaha bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan keluargaku! Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain! Yah.. orang yang meninggalkan anak dan isterinya dalam keadaan sengsara. Tapi aku sanggup menjadi orang yang berharga, meskipun aku tidak mengenal kasih sayang seorarng ayah! Waktu aku berumur delapan belas tahun, tak lain yang selalu terbayang dan terlihat diruang mataku hanya gambaran Ayahku yang telah sesat! Ia melarikan diri dengan seorang perempuan asing yang lalu menyeretnya kedalam lembah kedurjanaan! Lupa ia kepada anak dan isterinya! Juga lupa ia kepada kewajibannya karena nafsunya telah membawanya kepintu neraka! Hutangnya yang ditinggalkan kepada kita bertimbun-timbun! Sampai-sampai buku tabunganku yang disimpan oleh Ibu ikut hilang juga bersama Ayah yang minggat itu! Yah, masa kecil kita sungguh-sungguh sangat tersiksa. Maka jika memang kita mempunyai Ayah, maka Ayah itulah musuhku yang sebesar-besarnya!”

105. I b u: “Gunarto!” (Mintarsih Dan Ibu Menangis)

106. Maimun: “Bang!”

107. Mintarsih: “Bang!” KALAU MUNGKIN DIALOG MEREKA BERTIGA TADI DIUCAPKAN BERBARENGAN

108. Maimun: (Dengan Suara Agak Sedih) “Tapi, Bang. Lihat Ayah sudah Seperti ini sekarang. Ia sudah tua bang Narto.”

109. Gunarto: “Maimun, sering benar kau ucapkan kalimat “Ayah” kepada orang yang tidak berarti ini? Cuma karena ada seorang tua yang masuk kerumah ini dan ia mengatakan kalau ia Ayah kita, lalu kau sebut pula ia Ayah kita? Padahal dia tidak kita kenal. Sama sekali tidak Maimun. Coba kau perhatikan apakah kau benar-benar bisa merasakan kalau kau sedang berhadapan dengan Ayah mu?”

110. Maimun: “Bang Narto, kita adalah darah dagingnya. Bagaimanapun buruknya kelakuan dia kita tetap anaknya yang harus merawatnya.”

111. Gunarto: “Jadi maksudmu ini adalah kewajiban kita? Sesudah melepaskan hawa nafsunya dimana-mana, lalu sekarang ia kembali lagi kesini karena sudah tua dan kita harus memeliharanya? Huh, enak betul!”

112. I b u: (Bingung, Serba-Salah)  “Gunarto, sampai hati benar kau Berkata begitu terhadap Ayahmu. Ayah kandungmu.

113. Gunarto: (Cepat)  “Ayah kandung? Memang Gunarto yang dulu pernah punya Ayah, tapi dia sudah meninggal dunia dua puluh tahun yang lalu. Dan Gunarto yang sekarang adalah Gunarto yang dibentuk oleh Gunarto sendiri! aku tidak pernah berhutang budi kepada siapapun diatas dunia ini. Aku merdeka, semerdeka merdekanya, Bu!” SUARA BEDUG DAN TAKBIR BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI SUARA TANGIS IBU DAN MINTARSIH.

114. R. Saleh: (Diantara Batuknya) “Aku memang berdosa dulu itu. Aku mengaku. Dan itulah sebabnya aku kembali pada hari ini. Pada hari tuaku untuk memperbaiki kesalahan dan dosaku. Tapi ternyata sekarang…. yah, benar katamu Narto. Aku seorang tua dan aku tidak bermaksud untuk mendorong-dorongkan diri agar diterima dimana tempat yang aku tidak dikehendaki.” (Berfikir,sementara maimun tertunduk diam dan mintarsih menangis dipelukan ibunya) “Baiklah aku akan pergi. Tapi tahukah kau Narto, bagaimana sedih rasa hatiku. Aku yang pernah dihormati, orang kaya yang memiliki uang berjuta-juta banyaknya, sekarang diusir sebagai pengemis oleh seorang anak kandungnya sendiri… tapi biarlah sedalam apapun aku terjerumus kedalam kesengsaraan, aku tidak akan mengganggu kalian lagi.” (Berdiri Hendak Pergi, Tetap Batuk-Batuk)

115. Maimun: (Menahan) “Tunggu dulu, Ayah! Jika Bang Narto tidak mau menerima Ayah, akulah yang menerima Ayah. Aku tidak perduli apa yang terjadi!”

116. Gunarto: “Maimun! Apa pernah kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku pernah menerima tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji djarahpun, tak pernah aku menerima apa-apa dari dia!”

117. Maimun: “Jangan begitu keras, Bang Narto.”

118. Gunarto: (Marah, Dengan Cepat) “Jangan kau membela dia! Ingat, siapa yang membesarkan kau! Kau lupa! Akulah yang membiayaimu selama ini dari penghasilanku sebagai kuli dan kacung suruhan! Ayahmu yang sebenar-benarnya adalah aku!”

119. Mintarsih: “Engkau menyakiti hati Ibu, Bang.” (Sambil Tersedu-Sedu)

120. Gunarto: “Kau ikut pula membela-bela dia! Sedangkan untuk kau, aku juga yang bertindak menjadi Ayahmu selama ini! Baiklah, peliharalah orang itu jika memang kalian cinta kepadanya! Mungkin kau tidak merasakan dulu pahit getirnya hidup karena kita tidak punya seorang Ayah. Tapi sudahlah, demi kebahagiaan saudara-saudaraku, jangan sampai menderita seperti aku ini.” IBU DAN MINTARSIH TERUS MENANGIS, SEMENTARA MAIMUN DIA KAKU, SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERUS BERSAHUT-SAHUTAN. LALU TERDENGAR SUARA GEMURUH PETIR DAN HUJANPUN TURUN.

121. R. Saleh: “Aku mengerti… bagiku tidak ada jalan untuk kembali. Jika Aku kembali aku hanya mengganggu kedamaian dan kebahagiaan anakku saja. Biarlah aku pergi. Inilah jalan yang terbaik. Tidak ada jalan untuk kembali. RADEN SALEH BERGERAK PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK, SEMENTARA MAIMUN MENGIKUTI DARI BELAKANG.

122. Maimun: “Ayah, apa Ayah punya uang? Ayah sudah makan?”

123. Mintarsih: (Dengan Air Mata Tangisan) “Kemana Ayah akan pergi sekarang?”

124. R. Saleh: “Tepi jalan atau dalam sungai. Aku cuma seorang pengemis sekarang. Seharusnya memang aku malu untuk masuk kedalam rumah ini yang kutinggalkan dulu. Aku sudah tua lemah dan sadar, langkahku terayun kembali. Yah, sudah tiga hari aku berdiri didepan sana, tapi aku malu tak sanggup sebenarnya untuk masuk kesini. Aku sudah tua, dan…” RADEN SALEH MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU LALU KELUAR DENGAN PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK. BERJALAN LEMAH DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP MASIH TERDENGAR, SEMENTARA HUJAN MULAI TURUN DENGAN DERAS.

125. I b u: (Sambil Menangis) “Malam hari raya dia pergi dan datang Untuk pergi kembali. Seperti gelombang yang dimainkan oleh angin topan. Demikianlah nasib Ibu, Nak.”

126. Mintarsih: (Sambil Menangis Menghampiri Gunarto, Lalu Bergerak Kedekat Jendela) “Bang…. bagaimanakah Abang? Tidak dapatkah Abang memaafkan Ayah? Besok hari raya, sudah semestinya kita saling memaafkan. Abang tidak kasihan? Kemana dia akan pergi setua itu?” HUJAN SEMAKIN DERAS

127. Maimun: (Kesal) “Tidak ada rasa belas kasihan. Tidak ada rasa tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang tidak berAyah lagi.”

128. Mintarsih: “Dalam hujan lebat seperti ini, Abang suruh dia pergi. Dia Ayah kita Bang. Ayah kita sendiri!

129. Gunarto: (Memandang Adiknya) “Janganlah kalian lihat aku sebagai terdakwa. Mengapa kalian menyalahkan aku saja? Aku sudah hilangkan semua rasa itu! Sekarang kalian harus pilih, dia atau aku!”

130. Maimun: (Tiba-Tiba Bangkit Marahnya) “Tidak! Aku akan panggil kembali Ayahku pulang! Aku tidak perduli apa yang Abang mau lakukan? Kalau perlu bunuh saja aku kalau Abang mau! Aku akan panggil Ayahku! Ayahku pulang! Ayahku mesti pulang!” MAIMUN LARI KELUAR RUMAH, SEMENTARA HUJAN MAKIN LEBAT DIIRINGI SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN SAYUP-SAYUP TERDENGAR.

131. Gunarto: “Maimun kembali!” GUNARTO CEPAT HENDAK MENYUSUL MAIMUN TAPI TIDAK JADI LALU PERLAHAN-LAHAN DUDUK KEMBALI. IBU DAN MINTARSIH MENANGIS. SUASANA HENING SEJENAK HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN SERTA GEMURUH HUJAN. TAK BERAPA LAMA TAMPAK MAIMUN MASUK KEMBALI. NAMUN IA HANYA MEMBAWA PAKAIAN  DAN KOPIAH AYAHNYA SAJA. MAIMUN KELIHATAN MENANGIS.

132. Mintarsih: “Mana Ayah, Bang?”

133. I bu: “Mana Ayahmu?”

134. Maimun: “Tidak aku lihat. Hanya kopiah dan bajunya saja yang kudapati…”

135. Gunarto: “Maimun, dimana kau dapatkan baju dan kopiah itu?”

136. Maimun: “Dibawah lampu dekat jembatan…”

137. Gunarto: “Lalu Ayah? Bagaimana dengan Ayah? Dimana Ayah?”

138 Maimun: “Aku tidak tahu…”

139. Gunarto:(Kaget dan Sadar) “Jadi, jadi Ayah meloncat kedalam sungai!”

140. I b u: (Menjerit) “Gunarto….!”

141. Gunarto: (Berbicara Sendiri Sambil Memeggang Pakaian Dan Kopiah Ayahnya. Tampak Menyesal) “Dia tak tahan menerima penghinaan dariku. Dia yang biasa dihormati orang, dan dia yang angkuh, yah, angkuh seperti diriku juga… Ayahku. Aku telah membunuh Ayahku. Ayahku sendiri. Ayahku pulang, Ayahku pulang…” GUNARTO BERTERIAK MEMANGGIL-MANGGIL AYAHNYA LALU LARI KELUAR RUMAH DAN TERUS BERTERIAK-TERIAK SEPERTI ORANG GILA. IBU MINTARSIH DAN MAIMUN BERBARENGAN BERTERIAK MEMANGGIL GUNARTO “GUNARTO….!!” SUARA BEDUG BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI TAKBIR. SEMENTARA HUJAN MASIH SAJA TURUN DENGAN DERASNYA. LAMPU PANGGUNG PERLAHAN-LAHAN MATI LALU LAYAR TURUN.

S  E  L  E  S  A  I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar